Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad lahir di Kota Mekah pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah atau tepatnya pada tanggal 20 April tahun 571 M.
Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthalib dari suku Quraisy, merupakan keluarga hartawan dan orang berpengaruh di Mekah. Ibunya bernama Aminah binti Wahab, terkenal sebagai keluarga kalangan bangsawan dan berbudi mulia. Nabi Muhammad lahir dalam keadaan yatim, ayahnya wafat ketika ia masih dalam kandungan ibunya.
Tahun kelahiran Nabi disebut tahun Gajah karena bertepatan dengan peristiwa datangnya pasukan gubernur Abrahah dari Yaman untuk merusak Ka’bah dengan mengendarai gajah. Gubernur Yaman, Abrahah beragama Kristen tidak senang melihat orang-orang Yaman pergi ke Mekah untuk thawaf. Ia membuat Ka’bah sendiri di negerinya agar orang-orang thawaf disana, tetapi tidak ada satu orangpun yang mau berthawaf di Ka’bah buatannya itu. Hal tersebut membuatnya marah dan ingin menghancurkan Ka’bah yang ada di Masjidil Haram, Mekah.
Ia kemudian memimpin 2.000 pasukannya untuk menghancurkan Ka’bah dengan mengendarai gajah. Setelah sampai di pinggiran kota Mekah, penduduk Mekah lari mencari perlindungan di gunung-gunung. Abdul Muthalib, kakek Nabi yang menjaga Ka’bah juga ikut lari serta menyerahkan Ka’bah kepada Allah. Allah tidak ridha Ka’bah dihancurkan oleh pasukan Abrahah, kemudian Allah melepaskan pasukan burung Ababil untuk menyerang Abrahah. Abrahah dan semua pasukannya pun mati terserang oleh burung tersebut.
Kehidupan dan Pendidikan Nabi Muhammad SAW
Sebagaimana kebiasaan bangsa Arab pada waktu itu, nabi Muhammad disusukan pada wanita lain, yaitu Halimah Sa’diyah orang desa yang sangat miskin. Selama Halimah Sa’diyah mengasuh dan menyusui Nabi Muhammad, keadaan rumah tangganya sangat bahagia, hewan ternaknya berkembang biak, dan tanaman kebunnya tumbuh subur.
Setelah 4 tahun lamanya, ia mengembalikan Nabi Muhammad kepada ibunya. Ketika nabi Muhammad berusia 6 tahun, ibunya mengajak ke Madinah untuk bersilaturahmi ke keluarga Bani Najjar dan berziarah ke makam ayahnya. Dalam perjalanan pulang tepatnya di Abwa’ ibunya wafat karena jatuh sakit dan dimakamkan disana. Nabi Muhammad kemudian diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib dengan penuh kasih sayang. Setelah 2 tahun , kakeknya pun meninggal. Kemudian nabi Muhammad diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Abu Thalib bukan orang kaya dan mempunyai banyak anak. Tapi ia mengasuh Nabi Muhammad sama seperti mengasuh anak-anaknya sendiri.
Saat Nabi berusia 12 tahun, Abu Thalib mengajaknya ke Syam untuk berdagang. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan seorang pendeta Nasrani bernama Bahira menasehati Abu Thalib agar kembali ke Mekkah dengan membawa pulang Nabi Muhammad karena dilihat pada tubuh Nabi Muhammad terdapat tanda-tanda kenabian. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga keselamatann jiwa Nabi Muhammad di negeri Syam.
Nabi Muhammad sejak kecil senantiasa terpelihara dari akhlaq tercela, tidak pernah berkata dusta ataupun kotor, tidak mau makan makanan yang dipotong atas nama berhala, suka menolong orang kesusahan, sangat jujur hingga diberi gelar Al-Amin (dapat dipercaya), dan lain-lain.
Nabi Muhammad tidak pernah bersekolah. Ayah, kakek, dan pamannya pun tidak pernah mengajarinya membaca dan menulis. Beliau seorang yang buta huruf (ummi). Sejak kecil beliau rajin bekerja dan membantu pamannya.
Perang Fujjar (tahun 584 M)
Saat Nabi berusia 14 tahun, berkobarlah peperangan ‘Fujjar” yaitu peperangan yang terjadi pada bulan haji dan suci yang tidak diperbolehkan berperang. Fujjar sendiri berarti durhaka atau pelanggaran.
Perang tersebut terjadi antara kaum Quraisy beserta suku lain yang mengikat perjanjian dengan mereka melawan kaum Quraisy dibantu suku lainnya. Perang ini terjadi di Nakhlah, tempat diantara Makkah dengan Thaif. Yang menjadi kepala perang umum dari kaum Quraisy adalah Harb bin Umayyah, karena namanya yang baik dan umurnya sudah tua. Sedangkan dari Bani Abdil Muttalib ialah Zubair bin Abdul Muttalib, salah seorang paman Nabi. Nabi ikut serta dalam perang tersebut dengan membantu pamannya mengisi anak panah pada busurnya.
Hifdhul Fudhul (Menjada kehormatan) tahun 590 M
Untuk menjaga kehormatan suku Quraisy dan suku-suku lain, dibentuklah suatu kelompok pemuda yang berjanji membela dan menjaga kehormatan. Perjanjian itu disebut Hifdhul Fudhul. Perjanjian ini bertujuan untuk memelihara keamanan kota Mekah dan melindungi anggota suku yang lemah dari penganiayaan orang lain. Nabi Muhammad saat itu berusia 20 tahun menyambut baik dan ikut aktif dalam perjanjian tersebut.
Beristerikan Khadijah
Setelah Nabi Muhammad berusia 25 tahun, ia pergi ke Syam dengan membawa barang dagangan milik seorang janda kaya bernama Khadijah binti Khuwailid. Ia tertarik dengan sikap Nabi yang jujur sehingga ia mempercayakan harta dagangannya kepada Nabi.
Kepergian Nabi ditemani oleh budak bernama Maisarah. Barang dagangan itu cepat habis terjual dengan keuntungan yang besar juga. Sepulang dari Syam, Maisarah menceritakan peristiwa yang terjadi pada diri Nabi kepda Khadijah. Hingga akhirnya Khadijah menganggap bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pemuda yang dapat mengurus harta kekayaannya dan sanggup menjadi pelindungnya. Kemudian ia ingin meminangnya kepada paman nabi, Abu Thalib. Pinangannya itu pun diterima, dan kemudian melangsungkan pernikahan saat Nabi berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun.
Memperbaiki Ka’bah tahun 605 M
Ketika nabi berusia 35 tahun, terjadi bencana alam berupa banjir bandang ang merusak dinding Ka’bah hingga hajar aswad lepas dari tempatnya. Penduduk Mekah akhirnya bergotong royong untuk memperbaikinya. Setelah selesai dan akan menempatkan hajar aswad ke tempatnya terjadi keributan memperebutkan pengembalian hajar aswad ke tempatnya. Karena mereka beranggapan bahwa yang dapat mengembalikan hajar aswad ke tempatnya mendapat kehormatan yang tinggi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, diadakanlah musyawarah. Dalam musyawarah tersebut seorang yang ahli bicara memberi solusi yaitu dengan mengangkat hakim yang pertama kali masuk masjidil haram untuk menyelesaikan perselisihan itu. Tidak lama kemudian tampak orang pertama yang masuk ialah Nabi Muhammad. Orang-orang segera mengangkatnya menjadi hakim dan mohon secepatnya memberi keputusan.
Setelah berfikir sejenak, Nabi membentangkan kain sorbannya lalu ia meletakkan hajar aswad itu di atasnya. Nabi kemudian menyuruh wakil-wakil suku memegang ujung kain surban itu dan mengangkatnya ke dekat tempat hajar aswad. Kemudian Nabi mengambil hajar aswad itu dari atas kain surban dan menempatkannya ke tempat semula. Dengan kebijaksanaannya tersebut, semua suku merasa puas dan semakin memuji keluhuran Nabi Muhammad.
Untuk mengatasi masalah tersebut, diadakanlah musyawarah. Dalam musyawarah tersebut seorang yang ahli bicara memberi solusi yaitu dengan mengangkat hakim yang pertama kali masuk masjidil haram untuk menyelesaikan perselisihan itu. Tidak lama kemudian tampak orang pertama yang masuk ialah Nabi Muhammad. Orang-orang segera mengangkatnya menjadi hakim dan mohon secepatnya memberi keputusan.
Setelah berfikir sejenak, Nabi membentangkan kain sorbannya lalu ia meletakkan hajar aswad itu di atasnya. Nabi kemudian menyuruh wakil-wakil suku memegang ujung kain surban itu dan mengangkatnya ke dekat tempat hajar aswad. Kemudian Nabi mengambil hajar aswad itu dari atas kain surban dan menempatkannya ke tempat semula. Dengan kebijaksanaannya tersebut, semua suku merasa puas dan semakin memuji keluhuran Nabi Muhammad.
Kerasulan Nabi Muhammad
Mendekati usia 40 tahun, Nabi sering berkhalwat (menyendiri) dan bertakhannus (menenangkan diri) di gua hira yang terletak di gunung Nur. Berkhalwat dan bertakhannus merupakan adat kebiasaan ahli piker Arab di zaman jahiliyah. Mereka berkhalwat selama beberapa hari dalam setahun.
Sementara Nabi bertakhannus di gua Hira selam satu minggu, 15 hari, dan kadang-kadang sampai sebulan atau 40 hari untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Tuhan bukan berupa batu, patung, berhala, bukan pula dewa-dewa di kayangan, tapi Tuhan adalah yang berkuasa menciptakan alam semesta.
Dikala bekal Nabi habis, ia pulang ke rumah sebentar untuk mengambil makanan dan kemudian kembali lagi berkhalwat dan bertakhannus di dalam gua. Hal tersebut dilakukan hingga usianya genap 40 tahun. Pada bulan Ramadhan tiba-tiba datang Malaikat Jibril membangunkan Nabi Muhammad yang sedang tidur di dalam gua untuk menyampaikan wahyu dari Allah.
Peristiwa ini terjadi pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan atau bertepatan tanggal 6 Agustus 610 M.
Malaikat Jibril menyuruh Nabi : “bacalah, hai Muhammad”
Jawab Nabi : “saya tidak bisa membaca”
Malaikat Jibril mendekapnya erat-erat dan menyuruh yang kedua kali, katanya : “bacalah, hai Muhammad”
Jawab Nabi: “saya tidak dapat membaca”
Begitu terjadi hingga 3x, Nabi pun tetap menjawab “saya tidak bisa membaca”
Akhirnya Malaikat Jibril membacakan wahyu pertama untuk nabi yaitu QS Al Alaq: 1-5.
Kemudian Nabi bangkit hendak pulang ke rumah dengan perasaan cemas dan tubuh yang gemetar. Sampai di rumah, Nabi memanggil istrinya Khadijah untuk eminta tolong, kata Nabi: “selimutilah aku, selimutilah aku”
Khadijah segera menyelimutinya dan menghibur hatinya agar hilang perasaan cemas dan rasa gemetar pada tubuhnya.
Pernyataan Waraqah bin Naufal
Ketika Nabi menerima wahyu yang pertama di gua Hira beliau pulang dengan badan gemetar. Istrinya berusaha menghibur dan menghilangkan kecemasan hati suaminya. Setelah nabi menceritakan peristiwa yang telah terjadi padanya di gua Hira. Khadijah berkata: “bergembiralah suamiku, tetapkanlah hatimu, demi Tuhan saya berharap engkaulah yang akan menjadi Nabi bagi umat ini. Allah tidak akan mengecewakanmu, bukankah engkau yang merukunkan persaudaraan, senantiasa berkata benar, jujur, suka menolong anak yatim, menghorati tamu dan menolong orang yang sedang kesusahan.
Kemudian Khadijah mengajak Nabi ke rumah Waraqah bin Naufal, anak paman Khadijah untuk menceritakan apa yang terjadi pada Nabi di gua Hira. Waraqah saat itu sudah memeluk agama Nasrani dan telah mempelajari kitab Injil dan kemungkinan ia bisa memberi keterangan tentang kejadian itu.
Setelah mendengar cerita Khadijah, iapun berkata: “demi Tuhan yang jiwa Waraqah ada dalam kuasanya, jika engkau membenarkan aku hai Khadijah, sesungguhnya yang datang kepada Muhamad adalah Malaikat Jibril yang pernah datang kepada Nabi Musa. Muhammad akan menjadi Nabi bagi umat ini. Hendaklah Muhammad tinggal tetap dan tenang menerima wahyu. Ia kela akan didustakan oleh kaumnya, aan disakiti, diusir dan akan pula diperangi. Jika aku dapati saat itu pasti aku memberikan pertolongan pada Muhammad”
Kemudian Khadijah mengajak Nabi ke rumah Waraqah bin Naufal, anak paman Khadijah untuk menceritakan apa yang terjadi pada Nabi di gua Hira. Waraqah saat itu sudah memeluk agama Nasrani dan telah mempelajari kitab Injil dan kemungkinan ia bisa memberi keterangan tentang kejadian itu.
Setelah mendengar cerita Khadijah, iapun berkata: “demi Tuhan yang jiwa Waraqah ada dalam kuasanya, jika engkau membenarkan aku hai Khadijah, sesungguhnya yang datang kepada Muhamad adalah Malaikat Jibril yang pernah datang kepada Nabi Musa. Muhammad akan menjadi Nabi bagi umat ini. Hendaklah Muhammad tinggal tetap dan tenang menerima wahyu. Ia kela akan didustakan oleh kaumnya, aan disakiti, diusir dan akan pula diperangi. Jika aku dapati saat itu pasti aku memberikan pertolongan pada Muhammad”
0 Response to "Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAW"
Post a Comment