A. Sejarah
Berdirinya Kerajaan Tanjungpura
Kerajaan
Tanjungpura yang terletak di Kalimantan Barat, berkaitan dengan kerajaan yang
ada di Jawa, disebutkan pula di Jawa terdapat dua agama yaitu hindu dan budha.
Selanjutnya disebutkan bahwa Kerajaan Jawa pada saat itu mempunyai daerah
bawahan meliputi : Pai Hua Yuan (pacitan), Ma Tung (Medang), Tan Pel (Tumapel),
Hi Ning (Dieng), Jung La Yu (ujung galuh), Tung Ki (Papua), Ta Kang (sumba),
Huang Ma Chu (papua Barat), Tan Jung Ho (Tanjungpura), Ti Wu (Timor), Ping Yai
(Baggai, Sulawesi) dan Wu Nu Ku (Maluku).
Pengaruh Kerajaan Jenggala-Kediri ini kemudian berlangsung terus hingga
kemudian pada tahun 1284 M dimana Kerajaan Tanjungpura kemudian ditaklukkan oleh
kerajaan Jawa yang lain yaitu Kerajaan Singasari yang juga berpusat di Jawa
Timur. Penaklukan Kerajaan Tanjungpura ini lewat ekspedisi Pamalayu yang
dimulai dari tahun 1275 M hingga 1290 M. Sejak itu Kerajaan Tanjungpura beralih
menjadi dibawah pengaruh dari Kerajaan Singasari. Wilayah taklukkan Kerajaan
Singasari di Borneo pada waktu itu membentang dari Kerajaan Tanjungpura hingga
Kerajaan Banjarmasin.
Raja di Kerajaan Tanjungpura disebutkan bahwa Prabu Jaya kawin dengan Ratu
Junjung Buih menjadi Raja di Tanjungpura yaitu pada tahun 1450 M. Hal ini
sesuai dengan tradisi lisan yang berkembang pada masyarakat ketapang yang
menyebutkan bahwa seorang anak Raja Majapahit yang bernama Prabu Jaya kawin
dengan Ratu Junjung buih. Dari perkawinan itu maka Prabu Jaya kemudian menjadi
Raja di Kerajaan Tanjungpura ini.
Dalam
perkawinan ini keduanya telah diberkati tiga orang putera:
1. Pangeran
Perabu yang bergelar Raja Baparung, diangkat sebagai pendiri kota kerajaan di
Sukadana.
2. Gusti
Likar diangkat dan mendirikan kerajaan di Meliau.
3. Pangeran
Mancar diangkat menjadi kepala daerah di kerajaan Tayan.
Sementara mengenai
nama Tanjungpura sendiri ada beberapa versi. Menurut A. Chalik Hasan pemberian
nama Tanjungpura karena letak dari ibukota kerajaan itu di Tanjung Tikungan
Sungai Pawan. Sedangkan Tanjung itu merupakan pintu gerbang dari kerajaan ini.
Pendapat JU.Lontaan menyatakan bahwa setelah meningalnya raja Baparung, naiklah
menjadi raja puteranya yang bernama Karang Tanjung. Raja Karang Tanjung
mempunyai kesenangan tidur-tiduran di atas daun bunga Tanjung. Menurut cerita
rakyat putra mahkota tersebut mempunyai kesaktian, sehingga daun yang
kecil-kecil tersebut bisa di tiduri. Maka oleh rakyat dijuluki Karang Tanjung.
Rakyat sangat mengagumi raja Karang Tanjung hingga kemudian kerajaan yang
diperintahnya menjadi kerajaan Tanjung yang lama-kelamaan menjadi kerajaan
Tanjungpura.
Kerajaan
Tanjungpura atau Tanjompura merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat yang wujudnya ada
sejak abad ke-8. Kerajaan ini mengalami beberapa kali perpindahan ibukota
Kerajaan, pertama kali terletak di Negeri Baru (nama desa saat ini) Kabupaten
Ketapang, kemudian pindah ke Sukadana (saat ini ibu kota Kabupaten Kayong
Utara) pada abad ke-14 M dan pada abad ke 15 M berubah nama menjadi Kerajaan
Matan sejak Rajanya Sorgi (Giri Kesuma) memeluk Islam. KerajaanTanjungpura
menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju
pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singasari sebagai
Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti
tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan
menjadi Tanjungpura.
Beberapa
penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan
dari kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagai Lanon. Konon,
pada masa itu sepak-terjang gerombolan Lanon sangat kejam dan meresahkan
penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi
mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap
berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs
sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut. Dari Negeri
Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
Zainuddin (1665–1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di
daerah Sungai Matan. Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang
penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati
sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan
Tanjungpura. Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada
1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian
Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke
Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta
di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri. Indra Laya adalah nama dari
satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai.
B.
Letak Kerajaan Tanjungpura
a). Negeri Baru
Dari
beberapa peninggalan sejarah di Negeri Baru (disebut juga Benua Lama) nampaknya
daerah tersebut adalah salah satu pusat kerajaan di Ketapang yang dalam tulisan
para sejarahwan disebut Tanjungpura atau Tanjung Negara atau Bakulapura dengan
ibu negerinya Tanjungpuri.
b). Kayong
(Muliakerta)
Karena keadaan sudah berkembang dipilihlah suatu lokasi bernama
Kayung sebagai ibukota Kerajaan Matan. Penulis Belanda menyebutnya Kerajaan
Matan. Sesungguhnya itu Tanjungpura. Nama Matan baru dipakai setelah Sultan
Muhammad Zainuddin memindahkan pusat kerajaan dari Sukadana ke Sungai Matan.
C. Para penguasa
Ø
Kerajaan Tanjungpura
1.
Brawijaya (1454–1472)
2.
Bapurung
(1472–1487)
3.
Panembahan
Karang Tanjung (1487–1504)
Pada
masa pemerintahan Panembahan Karang Tanjung, pusat Kerajaan Tanjungpura yang
semula berada di Negeri Baru dipindahkan ke
Sukadana, dengan demikian nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan
Sukadana. Sukadana merupakan nama yang disebutkan untuk kerajaan ini dalam Hikayat Banjar.
Ø Kerajaan Sukadana
1.
Panembahan
Karang Tanjung (1487–1504)
2.
Gusti
Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung (1504– 1518)
3.
Gusti
Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518–1533)
4.
Panembahan
Pangeran Anom (1526–1533)
5.
Panembahan
Baroh (1533–1590)
6.
Gusti
Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590–1604)
7.
Ratu
Mas Jaintan
8. Gusti
Kesuma Matan atau Giri Mustika atau Sultan Muhammad Syaifuddin/Raden
Saradipa/Saradewa(1622–1665)
Ø Kesultanan Matan
1.
Gusti
Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724)
2.
Gusti
Kesuma Bandan atau Sultan Muhammad Muazzuddin (1724–1738)
3.
Gusti
Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749)
4.
Gusti
Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749–1762)
5.
Gusti
Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819)
Gusti
Asma adalah raja terakhir Kerajaan Matan dan pada masa pemerintahannya, pusat
pemerintahan Kerajaan Matan dialihkan ke Simpang, dan nama kerajaannya pun
berganti menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan.
D. Daerah
kekuasaan
Wilayah kekuasaan Tanjungpura
membentang dari Tanjung Dato sampai Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan
besar: Borneo (Brunei), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin. Tanjung Dato
adalah perbatasan wilayah mandala Borneo (Brunei) dengan wilayah mandala
Sukadana (Tanjungpura), sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah mandala
Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).
Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin,
sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana. Perbatasan di
pedalaman, perhuluan daerah aliran sungai Pinoh (Lawai) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin).
Pada masa mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama,
negeri Tanjungpura menjadi ibukota bagi daerah-daerah yang diklaim sebagai
taklukan Majapahit di nusa Tanjungnagara (Kalimantan).
Majapahit mengklaim bekas daerah-daerah taklukan Sriwijaya di pulau Kalimantan
dan sekitarnya. Nama Tanjungpura seringkali dipakai untuk sebutan pulau
Kalimantan pada masa itu. Pendapat lain beranggapan Tanjungpura berada di
Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai
wilayah yang lebih luas lagi. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah
Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan
Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre DahaVI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada,
sedangkan Mahapatih Gajah Mada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.
E.
Peralihan Agama
Menurut
P. J. Veth, sisa reruntuhan Kota Matan yang dibangun oleh Penembahan Baroh
terdapat di daerah Simpang. Di bekas reruntuhan Kerajaan Matan terdapat “Laut
Ketinggalan” yang kiranya berhubungan dengan gelar Penembahan di Baroh. Alkisah
ketika lahir putra raja, dikumpulkanlah ahli-ahli Nujum untuk melihat nasib
putranya. Menurut ramalan, putra raja ini akan meninggal disebabkan oleh
binatang air. Menjelang umur tiga atau empat tahun, Sang Putra ingin melihat
laut, maka dibuatkanlah laut (kolam). Di baruh ditempat yang agak rendah
sehingga mudah mengalirkan air ke dalam kolam Kemudian dimintanya pula agar
lautnya itu diisi dengan binatang air, maka diisilah dengan berbagai jenis ikan
dan sebagainya. Akhirnya dimintanya pula buaya. Dibuatkanlah buaya dari kayu
persis seperti buaya yang sebenarnya dengan sisik dan taringnya. Betapa
senangnya dia berhari-hari bermain dengan buaya kayu itu. Takdir menentukan
terlukalah dia terkena taring buaya itu dan meninggal karenanya. Laut itu
kemudian dinamai “Laut Ketinggalan”.
Pada masa Penembahan Baroh, agama Islam sudah mulai berkembang yang
dibawa oleh orang Arab dari Palembang pada permulaan tahun 1550, tetapi
Panembahan sendiri belum memeluk Islam.
Setelah meninggalnya Penembahan Baroh, diangkatlah Giri Kesuma yang
juga disebut Penembahan Sorgi. Dia adalah Penembahan yang pertama kali menganut
agama Islam. Sejak itu dia sering berhalwat mendekatkan dirinya kepada Allah
karena itu beliau bergelar Panembahan Sorgi. Pada zamannya datang utusan dari
Makatulmasyrafah Syech Syamsudin, Imam Kari dan Kadi Jamal yang membawa
bingkisan sebuah Alqur’an, sebentuk cincin permata yakkut merah dan baju
kebesaran.
Panembahan Sorgi menikah dengan Putri Mas Jaintan, anak Pangeran
Purba Jayakesuma–Raja Landak. Penembahan Giri Kesuma memakai gelar Giri,
mungkin pengaruh dari Jawa (Sunan Giri). Penembahan Giri juga dikenal dengan
Raja Matan. Jadi, Matan sudah mulai berperan sebagai kerajaan disamping
Sukadana seperti yang dikemukakan oleh H. J. De Graaf dan Pigeaud dalam bukunya
“Kerajaan Islam Pertama di Jawa” menyebutkan “… adanya perkawinan antara
pangeran-pangeran Giri dengan putri setempat. Karena Raja Matan dari Sukadana
yang mulai memerintah tahun 1590 memakai nama Giri Kesuma diduga ada pula
pengaruh dari Giri di sana”.
F.
Sistem Pemerintahan
Pendiri
Kerajaan Tanjungpura adalah Raja Brawijaya dari Majapahit. Dalam menjalankan
roda pemerintahan Kerajaan Tanjungpura, Raja Brawijaya dibantu oleh lima
saudaranya yang masing-masing didaulat mengampu lima suku dengan pangkat,
tugas, serta wewenang yang berbeda. Pertama adalah Maya Agung yang bertugas
menerima setiap utusan yang datang ke kerajaan. Maya Agungmerupakan hulubalang
pertama atau bertindak sebagai wakil raja yang diberi kewenenangan menangani
urusan-urusan besar, termasuk perang dan menggelar upacara penobatan raja.
Kedua adalah Mengkalang yang bertugas menangani hal-hal yang tidak bisa
dilakukan raja dan Maya Agung. Suku ketiga dinamakan Priyayi atau Rerahi Muka
Raja yang menjalankan fungsinya sebagai pengisi kekosongan pemerintahan ketika
raja wafat dan belum ada penggantinya. Suku keempat adalah Siring yang menjadi
pengiring raja dan pemegang pusaka raja. Terakhir adalah suku Mambal dengan
tugas sebagai penambal urusan-urusan raja, istana, adat, dan sarana-sarana yang
rusak. Kelima suku inilah yang berhak untuk menyelenggarakan prosesi
pengangkatan dan penobatan raja.
Ketika
Kerajaan Tanjungpura berganti nama menjadi Kerajaan Sukadana, ajaran Islam
mulai masuk dan perlahan-lahan menggeser agama Buddha yang menjadi keyakinan
Brawijaya pada era Kerajaan Tanjungpura, kendati keluarga kerajaan belum
memeluk Islam. Perkembangan ajaran Islam yang dibawa pedagang-pedagang Arab
dari Palembang pada permulaan tahun 1500 bertambah pesat pada masa pemerintahan
Panembahan Baroh, meski raja ini juga belum memeluk Islam.
Pada masa ini,
penyebutan raja mulai diganti dengan gelar gusti. Gelar di lingkungan kerajaan
bukanlah menunjukkan kasta/kelas sosial, namun cenderung merujuk pada ikatan
kekerabatan yang menganut garis laki-laki atau dari keturunan bapak
(patriarki). Sementara, panembahan pertama yang memeluk agama Islam adalah Giri
Kesuma atau Gusti Aliuddin atau Panembahan Sorgi (1590−1604) yang menggantikan
Panembahan Baroh. Pada masa inilah, keberadaan calon Kerajaan Matan sudah
merintis pondasi dan sudah mulai berperan di samping sisa-sisa kerajaan
sebelumnya, yaitu Kerajaan Sukadana, yang masih berdiri.
Memasuki
pertengahan abad ke-18, penjajah Belanda mulai turut campur dalam pemerintahan
kerajaan pada masa Sultan Muhammad Jamaluddin yang menjadi raja terakhir
Kerajaan Matan sebelum mendirikan Kerajaan Simpang-Matan, sementara Kerajaan
Kayong-Matan berdiri di bawah pimpinan Gusti Irawan dengan gelar Sultan
Mangkurat. Belanda mulai membangun tangsi-tangsi militer di wilayah Kerajaan
Simpang-Matan serta menjadikan daerah Sukadana sebagai basis kekuatan dan
pertahanannya dalam menguasai daerah-daerah pantai selatan di Kalimantan Barat.
Perkembangan
selanjutnya adalah Belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan Sultan
Simpang-Matan dengan kedok menawarkan jasa kepada Sultan untuk mengurusi
wilayah Kerajaan Simpang-Matan yang terlalu luas. Tawaran ini diterima oleh
Sultan Muhammad Jamaluddin hingga akhirnya Belanda berhasil menguasai Kerajaan
Simpang-Matan. Sejak saat itu, pengaruh Belanda semakin kuat dan selalu
mencampuri urusan-urusan internal kerajaan kendati beberapa kali terjadi
perlawanan dari orang-orang kerajaan untuk menangkal pengaruh Belanda, seperti
perlawanan Gusti Panji bergelar Panembahan Suryaningrat (raja keempat Kerajaan
Simpang-Matan), Patih Kampung Sepuncak (Hulubalang I), Uti Usma, Gusti Muhammad
Shalehan, Gusti Hamzah, dan lain-lainnya.
Pada
era pendudukan militer Jepang yang menggusur kolonialisme Belanda sejak tahun
1942, rakyat serumpun Kerajaan Matan mengalami masa-masa mencekam akibat
kekejaman Jepang. Tanggal 23 April 1943, Jepang menangkap raja-raja di
Kalimantan Barat dan nyaris semuanya dibunuh. Gusti Mesir, Sultan Kerajaan
Simpang-Matan beruntung dapat lolos dari pembunuhan massal itu. Akan tetapi,
nasib tragis menimpa Gusti Muhammad Saunan, yang memimpin Kerajaan Kayong-Matan
sejak tahun 1922. Panembahan Matan terakhir ini meninggal dunia tahun 1943
sebagai korban fasisme Jepang.
Setelah
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, wilayah yang semula
di bawah kuasa kerajaan dihimpun dalam suatu daerah pemerintahan yang disebut
swapraja dan dibentuklah suatu majelis yang bernama Majelis Pemerintahan
Kerajaan Matan (MPKM) sebagai pengampu pemerintahan adat. Pada akhirnya,
seiring dengan terbentuknya pemerintahan di daerah-daerah pascapenyerahan
kedaulatan dari Belanda ke pemerintah Republik Indonesia tahun 1949, wilayah
kerajaan ini dilebur dan diserahterimakan kepada Pemerintah Daerah Kalimantan
Barat dengan dihapuskannya swapraja berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 1959
tertanggal 4 Juli 1959, dan Instruksi Gubernur Kepala Daerah Provinsi
Kalimantan Barat tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6.
G.
Peninggalan Kerajaan Tanjungpura di Kabupaten Ketapang
Ø Keraton Muliakarta (Gusti Muhammad Saunan)
Negeri Baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana, kemudian ke Sungai
Matan. Masa Raja Muhammad Zainudin sekitar tahun 1637 pindah ke Indra Laya,
Sungai Pawan (kec Sandai), pindah ke Karta Pura, Tanah Merah (kec, Naga Tayab),
ke desa Tanjungpura (Muliakarta) Keraton ini berfungsi juga sebagai museum
sebagai tempat penyimpanan benda-benda bersejarah peninggalan raja-raja Matan.
Ø Komplek Makam Raja-Raja Matan
• Makam penembahan G.H.M. Sabran
• Makam Pangeran Laksamana Matan
• Makam Pangeran Ratu Mohd.Anom
Ø Makam Keramat Tujuh Dan Keramat Sembilan
Pada nisan Keramat Tujuh tertulis tahun 1363 saka atau 1441 Masehi. Nisan
terbuat dari batu Andesit bertuliskan huruf Arab, dapat dipastikan makam
seorang muslim. Tim Arkeologi Banjarmasin sudah melakukan penelitian di Kaltim,
Kalsel,Kalteng maupun Kalbar. Nisan batu andesit di temukan di Jawa dan untuk
yang pertama di Kalimantan adalah di Ketapang dari bentuk nisan tersebut
diperkirakan pada abad terakhir Majapahit.
Ø Makam Tanjungpura, 35 km dari Kota Ketapang.
Letak Candi ini
di pinggir sungai pawan. Penelitian Candi Tanjungpura di lakukan oleh Balai
Arkeologi (Balar) Banjarmasin dan telah berhasil menyingkap beberapa temuan.
Namun demikian penemuan ini masih dalam tahap awal, masih banyak misteri yang
belum terungkap. Situs ini diduga merupakan Candi Tanjungpura Kuno.
Struktur bangunan Candi Tanjungpura yang
berbahan batu bata merah dan dapat dilihat adanya arca dan relief pada dinding
pintu masuk. Terdapat beberapa temuan yaitu lumpang (lesung) dari bahan batu
andesit berukuran 40 cm dan di yakini merupakan perlatan rumah tangga
masyarakat Tanjungpura. Temuan lain adalah terdapat dasar lingga yang bersegi
lima, yang menjadi ciri dari Lingga.
Candi
Tanjungpura diduga sebagai pusat asal mula Kerajaan Tanjung Pura purba yang
dahulu pernah berjaya pada abad ke 13-14. Melihat dari bentuk dan struktur
candi yang terbuat dari bata merah ini , Candi Tanjungpura mirip dengan
candi-candi yang ada di Jawa Timur. Selain itu terdapat pula makam muslim yang
juga mirip dengan makam-makam muslim di Troloyo di trowulan ibukota Majapahit
Kuno yang berdiri di abad ke 13 atau 14.
H.
Sisa-sisa Kerajaan
Ada bekas Istana Raja, beberapa tiang dari kayu belian
yang tersisa, dikeilingi parit, katanya untuk menjaga keamanan sehingga disebut
“Kota Parit”. Kini sudah menjadi perkebunaan karet rakyat. Dekat Kompleks
Kuburan Raja-rajanya ada beberapa tiang bekas Istana Ratu, umur sudah ratusan
tahun, panjangnya puluhan meter, ketika aku masih kecil, tahun 50-an, dicabut,
dibawa ke Ketapang, dibuat Pintu Gerbang Kantor Bupati (dulu di pinggir sungai)
dan Pintu Gerbang Makam Pahlawan. Untuk kenang-kenangan kata mereka.
Yang masih dipelihara hanyalah kompleks Makam para Raja,
Pimpinan Agama, Pangeran, Perdana Menteri, Ratu dan keturunannya.
Salah satu nisanya tertulis tahun 1244 Hijriyah, yang berarti kerajaan ini
sudah ditinggalkan sekitar 200 tahun yang silam. Konon katanya Kerajaan ini
pernah mengalami kejayaan sehingga menguasai seluruh pulau Kalimantan. Bahkan
masih ada dan terpelihara dengan baik Makam salah seorang Keluarga Sultan dari
Kerajaan Brunai Darussalam.
Yang belum lama ditemukan adalah lapangan berpasir dan
kerikil berwarna kuning tidak ditumbuhi pohon dan rerumputan padahal
dikelilingi hutan belantara. Ternyata tempat ber-“KHALWAT”, bertafaqur memuji
Allah, Pimpinan Agama, Syekh Maghribi dan Pengeran Jaya Anom.
Ada lagi yang masih tersisa dan mengundang
pertanyaan. Yaitu banyaknya nama Kampung yang ada sampai sekarang. Mulai dari
kampung kami, dekat Istana Raja yang hanya kompleks kuburan, namanya Kampung
Padang, meski pun hanya tinggal beberapa rumah. Selanjutnya, Kampung Cina, dulu
masih ada 1 rumah Cina, langsung datang dari sana. Bekalnya, hanya sepotong
kayu segi empat yang sudah mengkilap. “Bantal kayu”, masih tetap dipakai
sebagai “kenang-kenangan”, katanya.
Namanya Meng Wat. Sekarang anak keturunannya sudah pindah ke Ketapang,
Pontianak, Jakarta dsb. Akibatnya hanya tinggal nama.
Ke hilir lagi, namanya Kampung Pengerahan. Ini pun hanya tinggal beberapa
rumah. Selanjutnya Kampung Kauman. Di sini yang masih banyak penghuninya.
Dilanjutkan Kampung Baru, juga masih ada beberapa rumah. Terakhir, paling ujung
di hilir adalah Kampung Maya dengan Bapak Lurah sendiri, merasa tidak
seketurunaan dengan kami di Tanjung Pura. Logat bicaranya pun, dahulu agak
berbeda. Kepala Adat mereka adalah Kiyai, Ahli Agama, yang kami sebut “Kiyai
Maya”. Mungkin dari Suku Maya.
Dari begitu banyak nama Kampung ini, kemungkinan besar, memang dahulunya
Tanjung Pura ini cukup ramai, sesuai legenda Sejarah, dari mulut ke mulut,
sebagai Ibu Kota Kerajaan yang besar. Sembunyi di dalam sungai jauh di hulu,
katanya agar tidak diganggu Lanun atau Bajak Laut dan para Penjajah.
0 Response to "Kerajaan Tanjungpura: Sejarah berdiri hingga Peninggalannya"
Post a Comment