Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Tunisia
Masuknya Islam di Tunisia
Tunisia
merupakan negara yang terletak di Afrika Utara. Kedatangan Islam di Afrika
Utara terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibn al-Khathab. Pada masa itu
kekuasaan Islam di tahun 640 M, sudah berhasil memasuki Mesir di bawah komando
'Amr ibn al-'Ash. Pada masa kekhalifahan Usman ibn Affan penaklukan Islam sudah
meluas sampai ke Barqah dan Tripoli. Penaklukan atas dua wilayah itu
dimaksudkan untuk menjaga keamanan daerah Mesir. Penaklukan itu tidak
berlangsung lama, karena gubernur-gubernur Romawi menduduki kembali
wilayah-wilayah yang telah ditinggalkan itu. Namun kekejaman dan pemerasan yang
mereka lakukan telah mengusik ketenteraman pendududk asli, sehingga tidak lama
kemudian penduduk asli sendiri memohon kepada orang-orang muslim untuk
membebaskan mereka dari kekuasaan Romawi. Pada waktu kekuasaan Islam sudah
berpindah kepada Muawwiyah Ibn Sufyan khalifah pertama bani Ummayah. Ia
bertekad untuk memberikan pukulan terakhir kepada kekuasaan Romawi di Afrika
Utara, dan mempercayakan tugas ini kepada seorang panglima masyhur Uqbah Ibn
Nafi al-Fikri (W. 683 M), yang telah menetap di Barqah sejak daerah itu
ditaklukan.
Pada tahun 50 H/670 M 'Uqbah mendirikan
kota militer yang termasyhur, Qairawan, disebelah selatan Tunisia. Tujuannnya
adalah untuk mengendalikan orang-orang Barbar yang ganas dan sukar diatur, dan
juga untuk menjaga terhadap perusakan-perusakan yang dilakukan oleh orang-orang
Romawi dari laut. Perjalanan Uqbah yang cemerlang itu dan pukulan-pukulannya
yang menghancurkan orang-orang Romawi dan Barbar, telah membuat negeri itu aman
selama beberapa tahun.
Akan tetapi, pada tahun 683 M
orang-orang Islam di Afrika utara mengalami kemunduran yang hebat, karena
orang-orang Barbar dibawah kepemimpinan Kusailah bangkit memberontak dan
mengalahkan 'Uqbah. Dia dan seluruh pasukannya tewas dalam pertempuran. Sejak
saat itu orang-orang Islam tidak berdaya mengembalikan kekuasaannya di Afrika
Utara, karena selain berhadapan dengan bangsa Barbar juga ada bangsa Romawi
yang memanfaatkan kesempatan dalam pemberontakan tersebut.Dalam kondisi seperti
ini penyebaran Islam tidak bisa menyebar dengan baik keadaan ini berlanjut
hingga terjadi pergantian Gubernur dari Hasan Ibn Nu'man kepada Musa Ibn Nusair
tahun 708 M,
Pada awal pemerintahan al-Walid Ibn
Abdul Malik (86-96 H)/705-715 M,
mendorong orang-orang Barbar mengadakan pemberontakan untuk melepaskan
diri dari kekuasaan Islam. Musa ibn Nushair dapat mematahkan pemberontakan mereka,
dan untuk mengantisipasi timbulnya pemberontakan lagi dia menetapkan kebijakan
"Perujukan", yaitu menempatkan orang-orang Barbar kedalam
pemerintahan orang-orang Islam.
Ketika pemerintahahan dipegang oleh Musa
ibn Nushair, di Afrika Utara terjadi perubahan sosial dan politik yang cukup
drastis. Perlawanan orang-orang Barbar yang ganas dapat dihancurkan domanasi
politik berada di tangan orang orang muslim dan da'wah Islam yang menyebar
dengan kecepatan yang luar biasa. Hal-hal inilah yang menyebabkan sebagian
sejarawan menganggap Musa Ibn Nusair sebagai ‘penakluk yang sesungguhnya’ atas
Afrika Utara.
Satu hal perlu dikemukakan bahwa seluruh
pemberontakan yang terjadi di Afrika Utara dilakukan oleh orang-orang Barbar
dan kaum Khawarij. Tidak diketahui bagaimana faham Khorijiah masuk ke daerah
itu dan kemudian menyebar disana. Yang pasti semangat egalitarian dan karakter
oposisinya terhadap pemerintahan Bani Umayyah telah mereflesikan aspirasi
orang-orang Barbar. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa kesamaan aspirasi itulah
yang menyebabkan faham keagamaan tersebut mudah diterima oleh orang-orang
Barbar, bahkan kira-kira pada tahun 132 H/750 M, hampir seluruh orang Afrika
Utara menganut faham ini.
Kebijakan islamisasi Musa ibn Nushair
yang diterapkan di daerah itu, meskipun tidak menjadikan seluruh penduduknya
menganut Islam, dapat dikatakan sebagai langkah rintisan bagi proses
perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam. Salah satu dari kebijakan tersebut
yaitu menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi dan pergaulan. Langkah ini
sangat efektif, sehingga posisi bahasa latin dapat tergeser, meskipun dalam
penyebutannya sedikit terpengaruhi dialek-dialek asli bangsa Barbar. Pada
gilirannya, kemajuan dalam berbagai disiplin ilmu (yang berkaitan dengan
masalah teologi, hukum, sejarah, sastra, puisi, filsafat, dan biografi) di
kemudian hari ditulis dengan bahasa Arab.
Berkembangnya Islam di Tunisia
Perkembangan Islam di Tunisia
selanjutnya di lanjutkan dengan berdirinya Dinasti Aghlabiyah, didirikan oleh
Ibrahim ibn Aghlad, yakni pada tahun 800 M, Yang diberikan oleh khalifah Harun
Al-Rasyid (pemerintah Daulah Bani Abbas) setelah terlepasnya Tunisia dari
dinasti Abbasiyah. Bahkan dia juga berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya
sampai pulau Sisilia.
Tidak hanya itu, pada Dinasti Aghlabiyah
membangun masjid besar Qairawan di Tunis (yang bisa dilihat sampai sekarang),
dan benteng Raqqada, serta kota kediaman para penguasa yang dibangun tidak jauh
dari Qairawan. Beberapa waduk besar untuk irigasi dan pasokan air bersih bagi
penduduk kota, juga berhasil dibangun.
Pada tahun 909 M Ziyadatullah III, penguasa
Aghlabiyah terkahir, diusir dari Tunisia ke wilayah Mesir oleh Sa’id ibn Husain
al-Salamiyah, pemimpin gerakan Syi’ah Isma’iliyah, sekaligus menandai
berakhirnya kekuasaan Aghlabiyah. Berikut para pemimpin Dinasti Aghlabiyah
(800-909 M)
1) Ibrahim ibn Aghlab (w. 812 M)
2) Abdullah ibn Ibrahim
3) Ziyadatullah ibn Ibrahim
4) Abu Ikal Aghlab
5) Abul abbas Muhammad
6) Ibrahim Ahmad Ziyadatuhllah II
7) Abu Gharaniq
8) Ibrahim II
9) Abul Abbas II
10) Ziyadatullah III
Selain masjid besar Qairawan terdapat pula Masjid
Al Zaytuna. Masjid agung ini terdapat di ibu kota
Tunisia, yaitu Tunis yang dekat dengan pantai utara Afrika. Luas lahannya
mencapai sekitar 5.000 meter persegi dengan sembilan pintu masuk. Masjid Al
Zaytuna memiliki 160 kolom autentik yang berasal dari kota tua Kartago.
Al Zaytuna merupakan masjid kedua yang dibangun di Ifriqiya
dan Maghreb. Menurut catatan sejarah, masjid ini didirikan pada 116 Hijriah
atau 731 Masehi oleh Obeid Allah Habhab Ibn Al. Gaya arsitekturnya sangat khas
dan menjadi inspirasi pembangunan masjid lainnya di Tunisia.
Untuk masuk ke masjid ini jamaah bisa menggunakan sembilan
pintu yang ada dengan bentuk persegi panjang dan dikelilingin oleh galeri.
Sedangkan, menaranya berdiri kokoh setinggi 43 meter dan meniru menara Almohad
dari Masjid Kasbah.
Selanjutnya yaitu Universitas Al Zaytuna. Al Zaytuna merupakan perguruan tinggi pertama yang didirikan di Afrika
Utara. Pendirinya adalah Numan Al Ghassani sekitar abad ke-13 Masehi.
Saat itu, Kota Tunis menjadi ibu kota kekhalifahan Hafsiah.
Dari Universitas Al Zaytuna lahir banyak cendekiawan
Muslim. Yang paling terkenal adalah Ibnu Khaldun yang dikenal sebagai ahli
sejarah sosial. Di sini, beragam disiplin ilmu dipelajari oleh ribuan mahasiswa
dari berbagai penjuru dunia, antara lain, ilmu Alquran, hukum, sejarah, tata
bahasa, sains, dan kedokteran.
Ribuan buku dan manuskrip tersimpan di universitas ini.
Sayangnya, ketika bangsa Spanyol menaklukkan Tunisia pada 940 dan 989 Hijriah
atau 1534 dan 1574 Masehi, banyak manuskrip dan buku penting yang dijarah.
Hingga kini, Universitas Al Zaytuna menjadi pusat pengembangan ilmu di Tunisia.
Para Ulama di Tunisia
Dalam dunia Islam ada kaitannya dengan
istilah "ulama" telah banyak digunakan untuk menunjuk kelompok
pemimpin agama. Oleh karena itu, pada bab ini menetapkan kriteria yang memadai
untuk mengidentifikasi individu-individu tertentu yang dianggap ulama di
Tunisia selama periode 1873-1915. Tidak akan menjadi maksud di sini untuk
menceritakan berbagai seluk-beluk yang melekat pada gagasan ilm selama
evolusinya di seluruh dunia Islam , melainkan, melalui analisis pemanfaatannya
dalam beberapa koleksi biografis yang relevan, tujuannya adalah untuk menilai
praktik jangka signifikansi dan lingkup linguistik di Tunisia pada akhir abad
kesembilan belas. Namun, di samping menentukan batasan pengelompokan ulama yang
kemudian dianalisis, bab ini juga berusaha untuk memberikan sketsa anatomi
pembentukan agama Tunisia.
Di Husayni Tunisia, setiap tokoh yang
penting layak mendapat setidaknya satu biografi yang pasti mengandung julukan
tradisional, yang bersifat pujian. Salah satunya, calim (sarjana) dalam sastra
Arab masa kini sering digunakan untuk menggambarkan seorang profesor atau
ilmuwan yang terpelajar. Secara umum, para penulis tradisional memberi istilah
makna yang lebih sempit. Mereka tidak akan menerapkannya pada semua sarjana,
tetapi sebagai aturan hanya untuk mereka yang memiliki pelatihan dan fungsi
tertentu. Untuk memenuhi syarat sebagai salah satu ulama, pengetahuan mungkin
kriteria yang diperlukan tetapi tidak cukup. Memang, seorang alim Tunisia
kemungkinan telah menerima pendidikan yang jauh lebih sempit daripada yang
dipelajari Sezaman di Eropa atau bahkan di departemen beylical. Singkatnya,
ulama merupakan semacam persaudaraan akademis yang telah terbentuk dengan baik
sebagaimana pada pertimbangan ilmiah tidak ada persyaratan berdasarkan
pengelompokan rema nebulous, Karena Bahkan bekerja sebagai alim atau diberikan
gelar sebagai gelar itu adalah atau dianggap benar kehormatan sebagai kata
sifat daripada sebagai kata benda.
Latar belakang pendidikan sangat penting
untuk alim akan benar-benar terlatih dalam ilmu-ilmu Islam ulama di Tunis tidak
kaku secara formal seperti di Istanbul, "instruktur dan fasilitas akademik
yang ncarly sama pentingnya dengan mata pelajaran Sebagai aturan siswa di
sekolah-sekolah Al-Qur'an primer atau Sufi Syekh tidak akan telah memenuhi
syarat untuk disebut ulama kecuali mereka menyelesaikan pendidikan mereka di
Masjid Zaytuna atau fasilitas yang sebanding, Demikian pula, pejabat militer
atau pegawai negeri yang menerima pelatihan mereka di Akademi Militer Bey,
guru-guru mereka termasuk ulama, berada atau di Sadiqi College, meskipun hampir
tidak pernah disebut ulama sendiri. sementara Zaytuna dalam struction hanyalah
salah satu ragam pelatihan pendidikan yang tersedia untuk hampir satu-satunya
jalan akses pada abad ke-15 Tunisia, itu menjadi ulama Perbandingan tersebut
dengan kategori lain dari Tunisia terpelajar menunjukkan bahwa diharapkan untuk
telah menjadikan akuisisi pengetahuan agama sebagai prioritas pertamanya.
tujuan penelitian ini, korps ulama Tunisia tahun 1873 Periode -1915 terdiri
dari mereka yang menduduki jabatan tertinggi di bidang Pendidikan islam,
keadilan Syariah dan ibadah muslim. Pada 1873 th Zaytuna mengajar korps
termasuk sekitar 65 mutatawwi’in.
Dinasti Husayni yang berkuasa pada tahun
1705, mulai membuat beberapa konsesi kepada ritus Maliki untuk mengurangi
kebencian masyarakat adat terhadap pemerintahan Turki. Ali b. Husain
(735-1756), misalnya, mengizinkan seorang ahli hukum Maliki untuk menerima
kembali gelar qadi al jamaika, sementara Hammuda Pasha (1782-1813) dikembalikan
ke Maliki Qadi dari Tunis, hak istimewa untuk mengumumkan dimulainya Ramadhan.
Cendekiawan Islam Di Tunisia
a. Khairuddin At-Tunisi Khairuddin
At-Tunisi
Sebenarnya beliau bukan orang asli Tunisia. Secara genealogis, Khairuddin adalah
seorang kaukasus berdarah Sdyarkasy, sebuah provinsi Rusia di Asia Tengah.
Khairuddin menuangkan gagasan pemikirannya ke dalam buku yang berjudul Aqwam
al-Masalik fi Ma'rifati Ahwal al-Mamalik (saya mengetahui kondisi pemerintah
atau kerajaan). Kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa prancis dengan judul
Revormer Necessaires aux Etats Musulmans. Buku ini memaparkan kondisi berbagai
negara Eropa dari segi negara sendiri, administrasi, tatanan hukum, keuangan,
dan kekuatan militer. Selain itu, ia juga memaparkan sebab kemunduran kaum
muslimin dan upaya membangkitkannya. Menurut Azzam S. Tamimi, Khairuddin adalah
pemimpin abad ke-19 gerakan revormasi di Tunisia.
Khairuddin juga di juluki sebagai bapak
kebangkitan Tunisia oleh Samir Abu Hamdan. Selain itu Khairuddin juga di juluki
sebagai bapak renaissan pertama. Namun tokoh revomis Tunisia ini belum banyak
di kaji oleh masyarakat Indonesia yang mayoritasnya adalah umat islam.
b. Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur
Muhammad Thahir bin 'Asyur
Lahir pada 1879 di pantai La Marsa,
sekitar 20 kilometer dari kota Tunis. Beliau terlahir dalam keluarga yang cukup
terpandang dan berpendidikan, di mana kakeknya adalah seorang Hakim, Mufti,
Pengawas Baitul Mal sekaligus Anggota Majelis Syura di Maroko dari keturunan
imigran muslim Spanyol di Maroko karena kondisi yang memaksa. Pada 1899 M.
Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur
Muhammad Zaitunah, Karirnya dalam mengajar dengan cepat menanjak sehingga pada
1905 ia sudah berada di jajaran pengajar tingkat satu, suatu karir yang sangat
sulit dicapai oleh orang lain dalam jangka waktu hanya delapan tahun. Selain
itu, sejak 1904 ia juga telah mengajar di As Shadiqiyyah, suatu lembaga
pendidikan yang di antara para muridnya adalah aktivis pembaruan. Pada
1910 ia diangkat sebagai anggota Dewan Reformasi oleh Pemerintah periode
pertama dan pada 1924 ia kembali diangkat sebagai anggota Dewan Reformasi untuk
periode keduanya. Pada 1932 ia ditetapkan sebagai Syaik Islam Al Maliki di Az
Zaitunah, suatu gelar kehormatan yang belum pernah diberikan oleh siapapun pada
waktu itu dan pada bulan September di tahun yang sama ia diangkat sebagai
Rektor Az Zaitunah. Jabatan ini kembali dipegangnya pada 1945 dan selanjutnya
pada 1956 setelah Tunisia mencapai kemerdekaannya dari Prancis.
Selain di bidang pendidikan, Syaikh
Muhammad Thahir bin 'Asyur juga berkarir di bidang peradilan di mana sejak 1911
ia sudah menjadi Hakim.
Pada 1933 ia ditetapkan sebagai Mufti. Pada 1937 menjadi Ahlus Syura senior.
Berbicara tentang pemikiran pembaruan Ibn 'Asyur tentu tidak terlepas dari
pengaruh pemikiran pembaruan sebelumnya dan yang semasa dengannya karena masa
Ibn 'Asyur hidup adalah masa-masa hangatnya ide-ide pembaruan dikumandangkan di
Tunisia baik oleh pendahulunya, Khairuddin at-Tunisi yang telah
diuraikan sebelumnya maupun oleh para-para pembaru Islam lainnya, terutama oleh
Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh yang dilanjutkan oleh muridnya
Muhammad Rasyid Ridla. Kalau tentang pembaruan Khairuddin telah diuraikan di
atas, berikut ini akan dijelaskan sejauh mana ide-ide pembaruan sebelumnya dan
yang semasa dengan Ibn 'Asyur berpengaruh pada pemikiran pembaruan Ibn 'Asyur
ini.
Sebagaimana telah diketahui bahwa
Tunisia merupakan titik temu peradaban dan penghubung antara dunia Timur dan
Barat karena lokasinya yang strategis. Oleh karena itu pada masa Ibn 'Asyur,
pemikiran pembaruan Islam telah menjadi buah bibir dan objek diskusi umat Islam
di Tunisia. Hal ini bisa dilihat dari intensitas hubungan antara para modernis
Islam dari berbagai wilayah di sekitarnya, terutama Muhammad Abduh yang telah
dua kali mengunjungi Tunisia.
c. Ibnu Khaldun
Nama lengkap beliau adalah Abu
Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami yang
kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. lahir di Tunisia pada 1 Ramadan
732 H./27 Mei 1332 M. Keluarganya berasal dari Hadramaut yang berimigrasi ke
Afrika Utara ratusan tahun sebelumnya. Disamping dikenal sebagai sebagai ‘bapak filsafat
Sejarah’, beliau juga dikenal sebagai ‘bapak sosiologi’ yang teori-teorinya
masih menjadi rujukan para sosiolog modern dewasa ini. Kitab sejarahnya yang
besar adalah Kitab al-I’bar yang ditulis selama 4 tahun disuatu daerah dekat
Oran. Sementara karya yang monumental adalah kitab Muqaddimah. Dalam kitab itu
beliau menyelidiki asal-usul masyarakat, perkembangan peradaban, hukum-hukum
perubahan sosial, sebab-sebab timbul dan jatuhmya kerajaan-kerajaan dan
dinasti-dinasti, juga pengaruh iklim atas pembentukan watak bangsa.
Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai
bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang
logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790)
dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan
ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana.
Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir
karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang
dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di
tengah-tengah mereka dalam pengembaraan yang cukup luas.
Selain itu dalam tugas-tugas yang diembannya penuh
dengan berbagai peristiwa, baik suka dan duka. Ia pun pernah menduduki jabatan
penting di Fes, Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di
Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari
sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan
karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia.
0 Response to "Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Tunisia"
Post a Comment