Asal Muasal Kerajaan Malaka: Sejarah berdiri hingga keruntuhannya
Pada
akhir abad ke 14 Kerajaan besar Jawa, yaitu Majapahit di bawah kepemimpinan
Raja Hayam Wuruk masih berupaya memperluas pengaruhnya terhadap Negara-negara
vassal di luar Jawa. Pada 1377 Majapahit menyerang Singapura dan membuat
seorang pangeran Hindu-Budha local bernama Parameswara (meninggal dunia sekitar 1414) melarikan
diri. Ia menyeberangi Selat Malaka dan pada akhirnya mendirikan kerajaan di
Malaka sekitar 1400. Dari sejumlah lokasi entrepot potensial di zona kepulauan
barat, Malaka adalah salah satu entrepot terbaik. Malaka dilengkapi pelabuhan
yang bisa diakses di segala musim dan terletak di bagian Selat yang paling
sempit, tempat kapal-kapal paling banyak terkonsentrasi. Pertama-tama,
Parameswara harus membuat kapal-kapal itu mengunjungi pelabuhan barunya. Ia pun
meminta bantuan orang laut. Di bagian selatan Selat Malaka, terdapat banyak
pulau-pulau kecil yang mulai berkembang. Pulau-pulau tersebut merupakan wilayah
ideal bagi para perompak dan orang laut adalah bajak laut berpengalaman.
Parameswara mengubah mereka menjadi pasukan kepolisian lautnya dan dengan
demikian menciptakan ikatan kesetiaan antara dinastinya dengan orang laut.
Ikatan ini berlangsung selama tiga abad hingga Dinasti Malaka berakhir akibat
pembunuhan pada 1699.
Kapal-kapal
yang melintas dipaksa berlabuh di Malaka. Bukannya dirampok, diperlakukan tidak
baik atau harus membayar pajak yang mahal, mereka malah mendapati fasilitas
perdagangan dan pergudangan serta system administrasi yang baik. Tidak
mengherankan bila kemudian para pedagang selalu tertarik untuk bertemu disana.
Sejak itu Malaka menjadi satu dari dua titik simpul perniagaan internasional
Asia yang besar (bersama Cambay (Khambat) di Gujarat) dalam system perdagangan
yang sangat luas, yang membentang dari Asia Timur dan Indonesia bagian timur
sebagai satu ujungnya sampai dengan Asia Selatan, Afrika Timur dan Mediterania
pada ujung lainnya.
Nama
Malaya dan Melayu berasal dari kata yang sama, yakni bahasa Sansekerta Malaya,
artinya “bukit”. Kata tersebut berkembang di dua tempat yang berbeda. Di
seberang utara selatan Malaka, kata tersebut mempertahankan bentuk-bentuk
aslinya Malaya, di seberang selatan kata tersebut mengalami perubahan bunyi,
menjadi Melayu. Di daerah Orissa, masih ada gunung yang bernama Malayagiri, di
dekat ujung Comorin ada lagi gunung yang bernama Malayam. Bentuk tersebut
terang turunan dari bentuk bahasa Sansekerta Malaya. Dalam bahasa Tamil kata
Malaya itu menjadi malai, artinya “bukit”. Daerah Semenanjung Melayu penuh
dengan bukit-bukit. Penduduk aslinya menyebut dirinya sebagai bangsa Melayu,
karena mereka kebanyakan keturunan orang pendatang dari seberang selatan Selat
Malaka. Dalam Kesusastraan Jawa kuno, nama Malaya belum dikenal. Yang disebut
dalam Nagarakertagama yang ditulis pada tahun 1365, ialah nama Tumasik, Pahang,
dan Trengganu.
Bila
ditelusuri melalui teks Sejarah Melayu dan Sulalatus Salatin, asal-usul nama
Melaka berasal dari nama pohon. Sebagaimana cerita berikut:
Kota
Buruk pun ditinggalkan. Lalu berlayarlah rombongan itu ke Barat dan sampai ke
suatu kawasan yang menarik perhatian Prameswara. Merapatlah perahu mereka di
sana, lalu rombongan itu naik ke darat. Setelah berjalan berhari-hari masuk
hutan keluar hutan, sampailah rombongan itu ke Setang Ujung. Menurut hemat dan
tempat mendirikan pemukiman, lalu diamanahkanlah kepada salah seorang
menterinya diikuti beberapa orang untuk tinggal di sana. Sulalatus Salatin
mencatat, tempat itu kelak bernama Menteri.
Prameswara
dan pengikutnya kembali ke pantai lalu menelusuri sebuah batang sungai bernama
Sungai Bertam. Turunlah mereka di tepi tebing Sungai Bertam itu. Terus masuk ke
dalam hutan buat berburu. Ketika berburu itulah anjing berburu rombongan
Prameswara terpongkeng diterjang seekor pelanduk berwarna putih. Terpikir oleh
Prameswara untuk membuat negeri disitu dengan alasan: “baik tempat ini. Sedang
pelanduknya lagi gagah. Baik kita perbuatkan negeri.” Maka sembah orang-orang
besar, “Benarlah tuanku seperti titah Duli yang dipertuan itu.” Maka disuruh
Baginda perbuatlah negeri pada tempat itu.”
Ketika
Prameswara bertanya nama pohon tempat mereka berteduh, dijawablah, namanya
pohon kayu Malaka. Maka Prameswara pun berkata, “jika demikian, Malaka lah nama
negeri ini.” Lalu dibukalah kawasan itu sebagai tapak awal Kemaharajaan Melayu
Malaka.
Sebagaimana
ketika Sri Tri Buana membangun tapak awal Kerajaan Melayu Singapura, peran
Orang Selat atau Suku Laut dari bangsa Melayu Tua itu juga tak dapat diabaikan
ketika Prameswara meletakkan batu pertama mendirikan Kemaharajaan Melayu
Malaka. Kala itu ada sekitar 30 keluarga nelayan Suku Laut yang merupakan
penduduk asli bermukim di pesisir pantai Malaka. Penduduk asli juga ada yang
bermukim di darat dan hidup dari pertanian dan hasil hutan. Dan mereka juga
turut membantu Prameswara mendirikan Kemaharajaan Melayu Malaka, bekerjasama
dengan rombongan Prameswara dari Singapura.
Malaka sebagai Pusat Perdagangan
Perdagangan
laut Asia pada masa itu umumnya didominasi muslim dan terjadi proses islamisasi
di Asia Tenggara maritim. Tidak mengherankan jika Dinasti Malaka juga memeluk
agama Islam. Urutan kejadiannya tidak jelas dan melahirkan perdebatan ilmiah.
Jelas sekali bahwa Parameswara memeluk islam menjelang akhir pemerintahannya
dan berganti nama menjadi Iskandar Syah. Penerusnya Megat Iskandar Syah (bertakhta 1414-1423/24) dan Muhammad Syah (bertakhta 1424-1444)
adalah muslim. Agaknya sempat dilakukan upaya pemulihan agama Hindu pada masa
pemerintahan Parameswara Dewa Syah yang singkat (1445-1446) sebelum ia dibunuh
dalam kudeta muslim yang menempatkan
saudara tirinya Sultan Muzaffar Syah ke singgasana (1446-1459). Setelah
itu Malaka tetap bertahan sebagai kerajaan Islam, menjadi pusat pengajaran
agama Islam, mendukung penyebaran Islam ke daerah-daerah lainnya dan teladan
seperti apa seharusnya Negara Melayu Islam itu.
Pada
akhir abad ke 15, Malaka mempunyai kedudukan sebagai pusat perdagangan di Asia
pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya. Penduduk aslinya ialah bangsa
Melayu yang kebanyakan hidup sebagai nelayan. Seperti dilukiskan oleh Time
Pires dalam Suma Orientalnya, pedagang-pedagang di Malaka berasal dari Kairo,
Mekka, Aden, Abesinia, Kiliwa, Malindi, Ormus, Parsi, Turki, Armenia, Gujarat,
Goa, Malabar, Keling, Orisa, Sailan, Bengali, Arakan, Pegu, dan Kedah
kesemuanya dari jurusan barat. Dari jurusan timur datanglah pedagang dari Siam,
Pahang, Pattani, Kamboja, Campa, dan China. Tambahan pula ada pedagang dari
kepulauan Nusantara, seperti Tanjungpura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda,
Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Indragiri, Kampar,
Minangkabau, Siak, Aru, Batak, Pasai, dan Pedir. Golongan pedagang dari
Nusantara dan dari China tinggal di sebelah selatan Sungai Malaka, yaitu di
daerah hilir, sedangkan pedagang yang berasal dari daerah barat tinggal di
sebelah utara sungai, yaitu daerah Upih.
Jaringan
perdagangan Malaka sangat luas yang membentang sampai ke pulau-pulau di
Indonesia. Tome Pires, penulis Portugis telah melukiskan kebesaran system ini
dengan semangat yang mungkin berlebihan, tetapi deskripsi umumnya jelas dapat
dipercaya. Trayek-trayek utama dan hasil-hasil yang paling penting yang
tercakup adalah sebagai berikut:
Malaka-pantai timur Sumatera: emas, kapur barus, lada, sutra,
damar, dan hasil-hasil hutan lainnya, madu, lilin, tir, belerang, besi, kapas,
rotan, beras serta bahan-bahan pangan lainnya, dan budak; hasil-hasil ini
terutama ditukarkaan dengan tekstil India; jung-jung juga dibeli di Malaka oleh
pedagang-pedagang dari beberapa daerah.
Malaka- Sunda (Jawa Barat): lada, asam Jawa, budak, emas, dan
bahan-bahan pangan lainnya; hasil-hasil ini ditukarkan dengan tekstil India,
pinang, air mawar, dan lain sebagainya.
Malaka-Jawa Tengah dan Jawa Timur: beras dan bahan-bahan pangan
lainnya, lada, asam Jawa, batu-batuan semi permata, emas, budak, dan tekstil
yang dimanfaatkan sebagai barang dagangan lebih jauh ke timur, hasil-hasil ini
ditukarkan dengan tekstil India yang baik mutunya dan barang-barang Cina.
Jawa Barat- pantai barat Sumatera: hasil-hasil yang sama dengan
hasil-hasil dari pantai timur Sumatera, juga kuda, dikapalkan ke Jawa Barat;
terjadi pula perdagangan secara langsung dengan para pedagang Gujarat yang
membawa tekstil.
Jawa Tengah dan Jawa Timur-Sumatera Selatan: kapas, madu, lilin,
tir, rotan, lada, dan emas dikapalkan ke Jawa.
Jawa-Bali, Lombok, Sumbawa: bahan-bahan pangan, tekstil kasar,
budak, dan kuda; hasil-hasil ini ditukarkan dengan tekstil kasar Jawa.
Bali, Lombok, Sumbawa-Timor, Sumba: kayu cendana dari daerah-daerah
Timor dan Sumba ditukarkan dengan tekstil kasar India dan Jawa.
Timor, Sumba-Maluku: pala, cengkih, dan bunga pala dari Maluku
(Kepulauan rempah-rempah) ditukarkan dengan tekstil kasar Sumbawa, mata uang
Jawa, dan perhiasan-perhiasan kecil dari India.
Jawa dan Malaka-Kalimantan Selatan: bahan-bahan pangan, intan,
emas, dan kapur barus ditukarkan dengan tekstil India.
Sulawesi Selatan-Malaka, Jawa, Brunei, Siam, Semenanjung Malaya:
budak, beras, dan emas dari Makassar ditukarkan langsung oleh orang-orang Bugis
dengan tekstil India, damar, dan lain sebagainya.
Tetapi perlu diingat bahwa hasil-hasil yang dapat mempertahankan
tetap berfungsinya system ini adalah barang-barang yang lebih bersifat biasa,
terutama tekstil India dan beras Jawa. Meskipun sudah dapat dipastikan bahwa di
Malaka terdapat lebih banyak tikus daripada mirah delima, tetapi kekayaan yang
berputar di tempat itu sangat mengesankan. Kunci bagi keberhasilan Malaka
tersebut bukanlah terutama karena tempat itu merupakan suatu pelabuhan yang
baik (karena ada banyak pelabuhan baik yang lain), tetapi lebih terletak pada
kebijakan-kebijakan penguasanya yang berhasil membentuk suatu komunitas
internasional kaum pedagang yang mendapatkan fasilitas-fasilitas yang
menguntungkan di sana.
Untuk pemasaran barang dagangan mereka, tersedia bangunan-bangunan
yang dibuat membujur pantai. Pedagang Jawa dari Gresik dan Tuban mempunyai
bangunan pasar juga di daerah Upih, suatu keistimewaan yang diperoleh karena
mereka menjual bahan makanan. Pemukiman para nelayan tetap terletak di sepanjang
sungai. Setiap bangsa diberi lokasi tersendiri untuk membangun tempat kediaman,
yang disebut fondachi oleh bangsa Portugis. Kelompok itu ada di bawah kekuasaan
seorang syahbandar. Seorang pemuka yang ditunjuk oleh kelompoknya. Setiap
fondachi ada di luar yurisdiksi Kerajaan Malaka, syahbandarlah yang mempunyai
kekuasaan serta mewakili kelompok dalam hubungannya keluar.
Mengenai pemungutan bea cukai, Tome Pires memberi keterangan bahwa,
para pedagang yang baru saja tiba di Malaka harus membayar bea cukai terlebih
dahulu sebelum ia diperbolehkan menjual dagangannya, oleh sebab itu
barang-barangnya harus ditimbang dan diukur dahulu berdasarkan timbangan dan
ukuran yang berlaku di Malaka. Bea impor untuk barang-barang yang datang dari
negeri di atas angina (Arab, India, Srilanka, Pegu, dan Siam) adalah 6%. Tetapi
bagi Pegu dan Siam ada pengecualian, apabila barang-barang yang didatangkan
dari tempat ini berupa bahan makanan, mereka dibebaskan dari bea 6% dan hanya
diwajibkan untuk membawa persembahan. Untuk barang-barang lain kewajiban
membayar 6% tetap harus dipenuhi.
Selain membayar bea cukai, pedagang-pedagang harus membayar pula
barang persembahan untuk raja, bendahara, tumenggung dari syahbandar yang
membawahinya. Keseluruhan persembahan ini berjumlah 1% atau 2% dari nilai
barang yang dimasukkan, besarnya ditetapkan oleh syahbandar yang bersangkutan.
Terhadap barang-barang yang dikeluarkan dari Malaka tidak dipungut
bea ekspor, baik dari kapal-kapal yang menuju ke Barat maupun ke Timur. Akan
tetapi mereka diwajibkan membayar ongkos timbangan 1% untuk semua barang yang
masuk dan keluar.
Raja-raja Malaka
1.
Prameswara/Permaisura/Raja
Iskandar Syah (1394-1414)
2.
Raja
Kecil Besar/Sri Maharaja (1414-1416)
3.
Sultan
Muhammad Syah (1416-1446)
4.
Sultan
Muzaffar Syah I (1446-1456)
5.
Sultan
Mansur Syah (1456-1477)
6.
Sultan
Alauddin Riayat Syah I (1477-1488)
7.
Sultan
Mahmud Syah I (1488-1511)
8.
Sultan
Ahmad Syah (1511-1513)
Masa Keemasan
Para
raja yang memerintah Kemaharajaan Melayu Malaka merupakan keturunan para raja
yang memerintah Kerajaan Melayu Singapura. Dan selama Kemaharajaan Melayu
Malaka berlangsung, yang memimpin Malaka tetap dari garis keturunan Sang Purba,
raja Melayu yang turun di Bukit Siguntang, Palembang.
Istilah
Sultan digunakan semenjak raja Malaka memeluk agama Islam dan diikuti oleh
rakyat Malaka. Gelar sultan ini diadopsi dari kerajaan Islam di jazirah Arab
dan kerajaan Islam yang tumbuh di India.
Prameswara,
pewaris terakhir kerajaan Melayu Singapura, menjadi raja Malaka pertama.
Prameswara memerintah di Malaka selama 20 tahun, dan sebelumnya 2 tahun dalam
masa pelarian dan di Singapura 3 tahun. Namun Sulalatus Salatin dan Tuhfat al
Nafis menyebut namanya Raja Iskandar Syah yang menunjukkan nama Islam.
Prameswara baru memeluk Islam pada 1414, tak lama menjelang kemangkatannya.
Semangkatnya Prameswara, menggantikan takhtanya anak beliau Raja Kecil Besar
dengan gelar Sultan Mahkota. Raja Kecil Besar yang dari sumber lain bergelar
Sri Maharaja, memerintah singkat sekali, yaitu 2 tahun saja. Kemudian Sri Maharaja
digantikan oleh putranya bernama Raja Tengah yang bergelar Sultan Muhammad
Syah, raja yang memeluk agama Islam secara gaib yaitu bermimpi bertemu dengan
Nabi Muhammad dan ketika bangun sudah dikhitan serta dengan fasih mengucapkan
syahadat yang menjadi syarat pertama memeluk agama Islam.
Islam
menjadi agama resmi baru ditetapkan pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah
I. Sejak itu Malaka menjadi salah satu pusat pengembangan Islam di kawasan
Nusantara sebelah barat. Kedudukan Malaka semakin penting di kala itu. Tidak
hanya sebagai kota pelabuhan dan perdagangan. Seiring terjalinnya kerjasama
politik dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, secara alamiah
terjadi penyebaran agama Islam di kerajaan-kerajaan tersebut. Agama Islam tidak
hanya menyebar di sekitar Selat Malaka, tetapi sampai ke Sumatera bagian
selatan, Kalimantan sebelah barat, Brunei Darussalam, dan kawasan kepulauan
Sulu Mindanao, Filipina. Sultan Muhammad juga mengubah gelar-gelar pembesarnya,
diantaranya, bendahara bergelar Sri Amar Diraja dan penghulu bendahari bergelar
Sri Nara Diraja.
Sultan Muhammad
Syah memerintah sangat adil dan memperhatikan rakyatnya. Kemaharajaan Melayu
Malaka tumbuh semakin besar, para pedagang dari mancanegara semakin banyak
berlabuh di Malaka, dan daerah takluk Malaka semakin luas, bahkan sampai ke
Trengganu. Sultan Muhammad Syah wafat setelah memerintah selama 30 tahun.
Menggantikan
takhta Sultan Muhammad Syah, yaitu putra beliau Raja Kasim bergelar Sultan
Muzaffar Syah I. Di masa pemerintahannya, dibukukanlah undang-undang yang
menjadi pedoman para menteri dalam melaksanakan tugas-tugasnya, datang pula
utusan dari Kerajaan Siam (Thailand) meminta Malaka tunduk di bawahnya. Jelas
ditolak Sultan Muazaffar Syah. Akibatnya, Kerajaan Siam menyerang Malaka,
terjadilah perang dahsyat sehingga menewaskan Raja Siam. Sultan Muzaffar Syah
memerintah selama 10 tahun.
Setelah
kematian Sultan Muzaffar Syah I digantikan anaknya yakni Raja Abdullah bergelar
Sultan Mansur Syah yang naik takhta saat berusia 17 tahun. Semasa
kepemimpinannya, Kemaharajaan Melayu Malaka mencapai puncak kejayaan.
Keberhasilan ini juga karena didukung perdana menterinya yang jenius dan gagah
berani bernama Tun Perak. Selain menyokong pemerintahan Sultan Mansur Syah, Tun
Perak kelak juga turut menjayakan kepemimpinan para sultan selanjutnnya yaitu
Sultan Alauddin Riayat Syah I dan Sultan Mahmud Syah I. Tun Perak menjabat
perdana menteri untuk tiga orang sultan. Sultan Mansur Syah juga mempersunting
putri Majapahit bernama Raden Galuh Cendera Kirana. Dibawanyalah rombongan
untuk meminang ke Majapahit. Dalam rombongan itu Hang Tuah dan para sahabatnya
Wira Melayu: Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Sultan
Mansur Syah juga mengajak raja-raja sahabatnya di bawah taklukan Majapahit
seperti Raja Palembang, Inderagiri, Jambi, Kuala Tungkal, dan Lingga. Misi ke
Majapahit tidak semata-mata melamar, tetapi juga misi politik. Di Majapahit,
para raja Melayu itu bertemu dengan raja-raja besar, seperti Raja Daha,
Tanjungpura dan Betara Majapahit sendiri. Setelah melamar, Sultan Mansur Syah
menyuruh Tun Bijaya Sura, orang penting di kerajaan Melayu Malaka menghadap
Betara Majapahit untuk meminta Kerajaan Inderagiri yang kala itu termasuk
daerah jajahan Majapahit. Jawaban diplomatif Betara Majapahit sampai
sekarang dikenang orang “Jangankan
Inderagiri, seluruh Jawa pun juga milik ananda Sultan Malaka karena dia sudah
menantu kita”.
Dengan
demikian, Kerajaan Inderagiri yang semula taklukan Majapahit beralih ke
Kemaharajaan Melayu Malaka. Tidak sampai di situ, beberapa hari kemudian Sultan
Mansur Syah menyuruh Hang Tuah menghadap Betara Majapahit untuk meminta Siantan
yang kala itu juga daerah jajahan Majapahit. Jawaban Betara Majapahit sampai
sekarang dikenang orang, “Jangankan Siantan, Palembang sekalipun akan kita
anugerahkan. Inderagiri dan Siantan pun sudah menjadi wilayah Malaka. Sultan
Mansur Syah mangkat setelah memerintah selama 21 tahun.
Sultan Mansur Syah
digantikan oleh anaknya, yakni Raja
Raden yang bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah I. semasa pemerintahannya,
reputasi Malaka sebagai pusat perdagangan dapat dipertahankan. Sultan Alauddin
juga sangat perhatian kepada keamanan negerinya. Bahkan ia sering menangkap
sendiri pencuri yang masuk ke dalam kota Malaka karena kegemarannya turun
langsung meronda. Ia selalu menghukum langsung pelaku kejahatan yang mengganggu
keamanan negerinya. Beliau memerintah dengan adil dan tegas lebih kurang selama
11 tahun.
Masa Keruntuhan dan Kedatangan Bangsa Eropa
Sultan
Mahmud naik takhta pada 1488 menggantikan Sultan Alauddin Riayat Syah. Dan pada
tahun yang sama Bartholomeus Diaz telah berada di Cape of Good Hope atau
Tanjung Harapan, Afrika. Misi pelaut berkebangsaan Portugis itu mempelajari dan
menjajaki rute untuk mencari negeri asal rempah-rempah yang mahal harganya di
Eropa.
Pada
tahun 1497, armada Portugis di bawah komando Vasco da Gama tiba di Kalikut,
pantai barat India. Disana mereka mendirikan kantor dagang sekaligus markas
militer dan tempat tinggal di sebuah daerah bernama Goa. Semuanya dipersiapkan
secara matang sebelum bergerak ke timur mencari negeri asal rempah-rempah.
Tepat pada 1509 bangsa Portugis sampai di Malaka, pelabuhan tempat
memperdagangkan rempah-rempah sebelum dibawa ke Eropa. Armada Portugis itu
dipimpin Degolofez de Aquera.
Pada
masa itu Kemaharajaan Melayu Malaka dalam kondisi bangkrut menyusul
merajalelanya korupsi dan intrik persaingan di kalangan pejabat istana. Para
petugas syahbandar pula menarik cukai tinggi kepada saudagar asing yang
bersandar di Pelabuhan Malaka dan uangnya tidak disetor penuh ke kas Negara
melainkan masuk ke kantong pribadi. Sebagai akibatnya banyak saudagar asing
mengalihkan tujuan sandar dan berdagang ke pelabuhan Pasai di ujung Pulau
Sumatera, pelabuhan Pattani di pinggang Tanah Semenanjung dalam wilayah
Kerajaan Siam, dan pelabuhan Brunei di tengkuk Pulau Borneo serta pelabuhan
Banten di pinggir Selat Sunda.
Para
pejabat Malaka kala itu sedang terlena dan tidak memanfaatkan secara maksimal
potensi selat Malaka yang strategis. Ketika Degolofez de Aquera bersama
armadanya tiba di pelabuhan Malaka,
pelabuhan itu tidak seramai beberapa tahun sebelumnya. Kehadiran bangsa
Portugis itu dapat dipukul mundur oleh pasukan Sultan Mahmud Syah. Degolofez
pun kembali ke markasnya di Goa.
Sultan
Mahmud Syah turun takhta pada 1511 dan digantikan anaknya Sultan Ahmad Syah.
Pada tahun yang sama datang kembali armada Portugis dalam jumlah lebih besar
dengan persenjataan lebih lengkap di bawah komando Alfonso de Albuquerque.
Pasukan
Malaka yang dipimpin langsung oleh Sultan Ahmad Syah, mati-matian
mempertahankan Pelabuhan Malaka yang hendak direbut bangsa Portugis itu. Tapi
serangan bertubi-tubi meriam dari kapal armada Alfonso tak dapat diimbangi
Malaka yang minim persenjataan.
Pada
25 Agustus 1511, ketika fajar mulai menyingsing, setelah bertempur mati-matian,
dipagi Jum’at, Pelabuhan Malaka akhirnya jatuh ke tangan Alfonso yang kelak
dijuluki sang penakluk Malaka.
Sultan
Ahmad Syah dan pasukannya yang masih hidup mundur ke Pagoh bersama petinggi dan
keluarga Kerajaan. Pasukan Portugis lalu menyongsong pasukan Malaka ke Pagoh.
Disana pun terjadi pertempuran. Persenjataan pasukan artileri Portugis juga
lebih canggih daripada bedil-bedil pasukan Melayu. Pasukan Sultan Ahmad Syah
lalu mundur ke Penarikan, sebuah kota atau benteng yang lebih kecil daripada di
Pagoh.
Kemudian
Sultan Ahmad Syah dan pasukannya beserta petinggi dan keluarga kerajaan
bertolak ke Pahang. Disana mereka disambut haru Raja Pahang, Sultan Abdul
Jamil, adik ipar Sultan Mahmud Syah mantan penguasa Malaka. Dalam masa pelarian
ini dilaksanakan pernikahan antara anak Sultan Pahang bernama Raja Mansyur dan
anak perempuan Sultan Mahmud Syah bernama Raja Dewi. Kemudian Sultan Mahmud
Syah beserta keluarga bergerak ke Pulau Bintan, sedangkan anaknya membuka
negeri baru di Kopak, dalam wilayah negeri Johor.
Sementara
itu Portugis yang telah menguasai Malaka terus bergiat membangun benteng
pertahanan di puncak bukit tak jauh dari muara Sungai Malaka yang dikenal
sebagai benteng A.Famosa. Ancaman serangan dari pasukan Melayu bisa datang
sewaktu-waktu karena Portugis juga mengetahui Sultan Mahmud Syah tengah
menyusun kekuatan di Bintan untuk merebut kembali Malaka. Sedangkan pelabuhan
Malaka kembali ditata Portugis sesuai fungsinya semula sebagai pelabuhan
dagang.
Selama
berada di Bintan, selain menata pusat pemerintahan yang baru seperti membangun
istana dan pemukiman, Sultan Mahmud Syah terus mengadakan konsolidasi dengan
kerajaan-kerajaan Melayu yang dulu berada di bawah kemaharajaan Melayu Malaka
guna menyatukan semangat dan tekad merebut kembali kota Malaka dari tangan
Portugis.
0 Response to "Asal Muasal Kerajaan Malaka: Sejarah berdiri hingga keruntuhannya"
Post a Comment