-->

Asal Muasal Kerajaan Malaka: Sejarah berdiri hingga keruntuhannya


   Pendirian dan Asal Nama Melayu Melaka




Pada akhir abad ke 14 Kerajaan besar Jawa, yaitu Majapahit di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk masih berupaya memperluas pengaruhnya terhadap Negara-negara vassal di luar Jawa. Pada 1377 Majapahit menyerang Singapura dan membuat seorang pangeran Hindu-Budha local bernama Parameswara  (meninggal dunia sekitar 1414) melarikan diri. Ia menyeberangi Selat Malaka dan pada akhirnya mendirikan kerajaan di Malaka sekitar 1400. Dari sejumlah lokasi entrepot potensial di zona kepulauan barat, Malaka adalah salah satu entrepot terbaik. Malaka dilengkapi pelabuhan yang bisa diakses di segala musim dan terletak di bagian Selat yang paling sempit, tempat kapal-kapal paling banyak terkonsentrasi. Pertama-tama, Parameswara harus membuat kapal-kapal itu mengunjungi pelabuhan barunya. Ia pun meminta bantuan orang laut. Di bagian selatan Selat Malaka, terdapat banyak pulau-pulau kecil yang mulai berkembang. Pulau-pulau tersebut merupakan wilayah ideal bagi para perompak dan orang laut adalah bajak laut berpengalaman. Parameswara mengubah mereka menjadi pasukan kepolisian lautnya dan dengan demikian menciptakan ikatan kesetiaan antara dinastinya dengan orang laut. Ikatan ini berlangsung selama tiga abad hingga Dinasti Malaka berakhir akibat pembunuhan pada 1699.
Kapal-kapal yang melintas dipaksa berlabuh di Malaka. Bukannya dirampok, diperlakukan tidak baik atau harus membayar pajak yang mahal, mereka malah mendapati fasilitas perdagangan dan pergudangan serta system administrasi yang baik. Tidak mengherankan bila kemudian para pedagang selalu tertarik untuk bertemu disana. Sejak itu Malaka menjadi satu dari dua titik simpul perniagaan internasional Asia yang besar (bersama Cambay (Khambat) di Gujarat) dalam system perdagangan yang sangat luas, yang membentang dari Asia Timur dan Indonesia bagian timur sebagai satu ujungnya sampai dengan Asia Selatan, Afrika Timur dan Mediterania pada ujung lainnya.
Nama Malaya dan Melayu berasal dari kata yang sama, yakni bahasa Sansekerta Malaya, artinya “bukit”. Kata tersebut berkembang di dua tempat yang berbeda. Di seberang utara selatan Malaka, kata tersebut mempertahankan bentuk-bentuk aslinya Malaya, di seberang selatan kata tersebut mengalami perubahan bunyi, menjadi Melayu. Di daerah Orissa, masih ada gunung yang bernama Malayagiri, di dekat ujung Comorin ada lagi gunung yang bernama Malayam. Bentuk tersebut terang turunan dari bentuk bahasa Sansekerta Malaya. Dalam bahasa Tamil kata Malaya itu menjadi malai, artinya “bukit”. Daerah Semenanjung Melayu penuh dengan bukit-bukit. Penduduk aslinya menyebut dirinya sebagai bangsa Melayu, karena mereka kebanyakan keturunan orang pendatang dari seberang selatan Selat Malaka. Dalam Kesusastraan Jawa kuno, nama Malaya belum dikenal. Yang disebut dalam Nagarakertagama yang ditulis pada tahun 1365, ialah nama Tumasik, Pahang, dan Trengganu.
Bila ditelusuri melalui teks Sejarah Melayu dan Sulalatus Salatin, asal-usul nama Melaka berasal dari nama pohon. Sebagaimana cerita berikut:
Kota Buruk pun ditinggalkan. Lalu berlayarlah rombongan itu ke Barat dan sampai ke suatu kawasan yang menarik perhatian Prameswara. Merapatlah perahu mereka di sana, lalu rombongan itu naik ke darat. Setelah berjalan berhari-hari masuk hutan keluar hutan, sampailah rombongan itu ke Setang Ujung. Menurut hemat dan tempat mendirikan pemukiman, lalu diamanahkanlah kepada salah seorang menterinya diikuti beberapa orang untuk tinggal di sana. Sulalatus Salatin mencatat, tempat itu kelak bernama Menteri.
Prameswara dan pengikutnya kembali ke pantai lalu menelusuri sebuah batang sungai bernama Sungai Bertam. Turunlah mereka di tepi tebing Sungai Bertam itu. Terus masuk ke dalam hutan buat berburu. Ketika berburu itulah anjing berburu rombongan Prameswara terpongkeng diterjang seekor pelanduk berwarna putih. Terpikir oleh Prameswara untuk membuat negeri disitu dengan alasan: “baik tempat ini. Sedang pelanduknya lagi gagah. Baik kita perbuatkan negeri.” Maka sembah orang-orang besar, “Benarlah tuanku seperti titah Duli yang dipertuan itu.” Maka disuruh Baginda perbuatlah negeri pada tempat itu.”
Ketika Prameswara bertanya nama pohon tempat mereka berteduh, dijawablah, namanya pohon kayu Malaka. Maka Prameswara pun berkata, “jika demikian, Malaka lah nama negeri ini.” Lalu dibukalah kawasan itu sebagai tapak awal Kemaharajaan Melayu Malaka.
Sebagaimana ketika Sri Tri Buana membangun tapak awal Kerajaan Melayu Singapura, peran Orang Selat atau Suku Laut dari bangsa Melayu Tua itu juga tak dapat diabaikan ketika Prameswara meletakkan batu pertama mendirikan Kemaharajaan Melayu Malaka. Kala itu ada sekitar 30 keluarga nelayan Suku Laut yang merupakan penduduk asli bermukim di pesisir pantai Malaka. Penduduk asli juga ada yang bermukim di darat dan hidup dari pertanian dan hasil hutan. Dan mereka juga turut membantu Prameswara mendirikan Kemaharajaan Melayu Malaka, bekerjasama dengan rombongan Prameswara dari Singapura.

   Malaka sebagai Pusat Perdagangan

Perdagangan laut Asia pada masa itu umumnya didominasi muslim dan terjadi proses islamisasi di Asia Tenggara maritim. Tidak mengherankan jika Dinasti Malaka juga memeluk agama Islam. Urutan kejadiannya tidak jelas dan melahirkan perdebatan ilmiah. Jelas sekali bahwa Parameswara memeluk islam menjelang akhir pemerintahannya dan berganti nama menjadi Iskandar Syah. Penerusnya Megat Iskandar Syah  (bertakhta 1414-1423/24)  dan Muhammad Syah (bertakhta 1424-1444) adalah muslim. Agaknya sempat dilakukan upaya pemulihan agama Hindu pada masa pemerintahan Parameswara Dewa Syah yang singkat (1445-1446) sebelum ia dibunuh dalam kudeta muslim yang menempatkan  saudara tirinya Sultan Muzaffar Syah ke singgasana (1446-1459). Setelah itu Malaka tetap bertahan sebagai kerajaan Islam, menjadi pusat pengajaran agama Islam, mendukung penyebaran Islam ke daerah-daerah lainnya dan teladan seperti apa seharusnya Negara Melayu Islam itu.
Pada akhir abad ke 15, Malaka mempunyai kedudukan sebagai pusat perdagangan di Asia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya. Penduduk aslinya ialah bangsa Melayu yang kebanyakan hidup sebagai nelayan. Seperti dilukiskan oleh Time Pires dalam Suma Orientalnya, pedagang-pedagang di Malaka berasal dari Kairo, Mekka, Aden, Abesinia, Kiliwa, Malindi, Ormus, Parsi, Turki, Armenia, Gujarat, Goa, Malabar, Keling, Orisa, Sailan, Bengali, Arakan, Pegu, dan Kedah kesemuanya dari jurusan barat. Dari jurusan timur datanglah pedagang dari Siam, Pahang, Pattani, Kamboja, Campa, dan China. Tambahan pula ada pedagang dari kepulauan Nusantara, seperti Tanjungpura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Indragiri, Kampar, Minangkabau, Siak, Aru, Batak, Pasai, dan Pedir. Golongan pedagang dari Nusantara dan dari China tinggal di sebelah selatan Sungai Malaka, yaitu di daerah hilir, sedangkan pedagang yang berasal dari daerah barat tinggal di sebelah utara sungai, yaitu daerah Upih.
Jaringan perdagangan Malaka sangat luas yang membentang sampai ke pulau-pulau di Indonesia. Tome Pires, penulis Portugis telah melukiskan kebesaran system ini dengan semangat yang mungkin berlebihan, tetapi deskripsi umumnya jelas dapat dipercaya. Trayek-trayek utama dan hasil-hasil yang paling penting yang tercakup adalah sebagai berikut:
Malaka-pantai timur Sumatera: emas, kapur barus, lada, sutra, damar, dan hasil-hasil hutan lainnya, madu, lilin, tir, belerang, besi, kapas, rotan, beras serta bahan-bahan pangan lainnya, dan budak; hasil-hasil ini terutama ditukarkaan dengan tekstil India; jung-jung juga dibeli di Malaka oleh pedagang-pedagang dari beberapa daerah.
Malaka- Sunda (Jawa Barat): lada, asam Jawa, budak, emas, dan bahan-bahan pangan lainnya; hasil-hasil ini ditukarkan dengan tekstil India, pinang, air mawar, dan lain sebagainya.
Malaka-Jawa Tengah dan Jawa Timur: beras dan bahan-bahan pangan lainnya, lada, asam Jawa, batu-batuan semi permata, emas, budak, dan tekstil yang dimanfaatkan sebagai barang dagangan lebih jauh ke timur, hasil-hasil ini ditukarkan dengan tekstil India yang baik mutunya dan barang-barang Cina.
Jawa Barat- pantai barat Sumatera: hasil-hasil yang sama dengan hasil-hasil dari pantai timur Sumatera, juga kuda, dikapalkan ke Jawa Barat; terjadi pula perdagangan secara langsung dengan para pedagang Gujarat yang membawa tekstil.
Jawa Tengah dan Jawa Timur-Sumatera Selatan: kapas, madu, lilin, tir, rotan, lada, dan emas dikapalkan ke Jawa.
Jawa-Bali, Lombok, Sumbawa: bahan-bahan pangan, tekstil kasar, budak, dan kuda; hasil-hasil ini ditukarkan dengan tekstil kasar Jawa.
Bali, Lombok, Sumbawa-Timor, Sumba: kayu cendana dari daerah-daerah Timor dan Sumba ditukarkan dengan tekstil kasar India dan Jawa.
Timor, Sumba-Maluku: pala, cengkih, dan bunga pala dari Maluku (Kepulauan rempah-rempah) ditukarkan dengan tekstil kasar Sumbawa, mata uang Jawa, dan perhiasan-perhiasan kecil dari India.
Jawa dan Malaka-Kalimantan Selatan: bahan-bahan pangan, intan, emas, dan kapur barus ditukarkan dengan tekstil India.
Sulawesi Selatan-Malaka, Jawa, Brunei, Siam, Semenanjung Malaya: budak, beras, dan emas dari Makassar ditukarkan langsung oleh orang-orang Bugis dengan tekstil India, damar, dan lain sebagainya.
Tetapi perlu diingat bahwa hasil-hasil yang dapat mempertahankan tetap berfungsinya system ini adalah barang-barang yang lebih bersifat biasa, terutama tekstil India dan beras Jawa. Meskipun sudah dapat dipastikan bahwa di Malaka terdapat lebih banyak tikus daripada mirah delima, tetapi kekayaan yang berputar di tempat itu sangat mengesankan. Kunci bagi keberhasilan Malaka tersebut bukanlah terutama karena tempat itu merupakan suatu pelabuhan yang baik (karena ada banyak pelabuhan baik yang lain), tetapi lebih terletak pada kebijakan-kebijakan penguasanya yang berhasil membentuk suatu komunitas internasional kaum pedagang yang mendapatkan fasilitas-fasilitas yang menguntungkan di sana.
Untuk pemasaran barang dagangan mereka, tersedia bangunan-bangunan yang dibuat membujur pantai. Pedagang Jawa dari Gresik dan Tuban mempunyai bangunan pasar juga di daerah Upih, suatu keistimewaan yang diperoleh karena mereka menjual bahan makanan. Pemukiman para nelayan tetap terletak di sepanjang sungai. Setiap bangsa diberi lokasi tersendiri untuk membangun tempat kediaman, yang disebut fondachi oleh bangsa Portugis. Kelompok itu ada di bawah kekuasaan seorang syahbandar. Seorang pemuka yang ditunjuk oleh kelompoknya. Setiap fondachi ada di luar yurisdiksi Kerajaan Malaka, syahbandarlah yang mempunyai kekuasaan serta mewakili kelompok dalam hubungannya keluar.
Mengenai pemungutan bea cukai, Tome Pires memberi keterangan bahwa, para pedagang yang baru saja tiba di Malaka harus membayar bea cukai terlebih dahulu sebelum ia diperbolehkan menjual dagangannya, oleh sebab itu barang-barangnya harus ditimbang dan diukur dahulu berdasarkan timbangan dan ukuran yang berlaku di Malaka. Bea impor untuk barang-barang yang datang dari negeri di atas angina (Arab, India, Srilanka, Pegu, dan Siam) adalah 6%. Tetapi bagi Pegu dan Siam ada pengecualian, apabila barang-barang yang didatangkan dari tempat ini berupa bahan makanan, mereka dibebaskan dari bea 6% dan hanya diwajibkan untuk membawa persembahan. Untuk barang-barang lain kewajiban membayar 6% tetap harus dipenuhi.
Selain membayar bea cukai, pedagang-pedagang harus membayar pula barang persembahan untuk raja, bendahara, tumenggung dari syahbandar yang membawahinya. Keseluruhan persembahan ini berjumlah 1% atau 2% dari nilai barang yang dimasukkan, besarnya ditetapkan oleh syahbandar yang bersangkutan.
Terhadap barang-barang yang dikeluarkan dari Malaka tidak dipungut bea ekspor, baik dari kapal-kapal yang menuju ke Barat maupun ke Timur. Akan tetapi mereka diwajibkan membayar ongkos timbangan 1% untuk semua barang yang masuk dan keluar.

  Raja-raja Malaka

1.   Prameswara/Permaisura/Raja Iskandar Syah (1394-1414)
2.   Raja Kecil Besar/Sri Maharaja (1414-1416)
3.   Sultan Muhammad Syah (1416-1446)
4.   Sultan Muzaffar Syah I (1446-1456)
5.   Sultan Mansur Syah (1456-1477)
6.   Sultan Alauddin Riayat Syah I (1477-1488)
7.   Sultan Mahmud Syah I (1488-1511)
8.   Sultan Ahmad Syah (1511-1513)

   Masa Keemasan

Para raja yang memerintah Kemaharajaan Melayu Malaka merupakan keturunan para raja yang memerintah Kerajaan Melayu Singapura. Dan selama Kemaharajaan Melayu Malaka berlangsung, yang memimpin Malaka tetap dari garis keturunan Sang Purba, raja Melayu yang turun di Bukit Siguntang, Palembang.
Istilah Sultan digunakan semenjak raja Malaka memeluk agama Islam dan diikuti oleh rakyat Malaka. Gelar sultan ini diadopsi dari kerajaan Islam di jazirah Arab dan kerajaan Islam yang tumbuh di India.
Prameswara, pewaris terakhir kerajaan Melayu Singapura, menjadi raja Malaka pertama. Prameswara memerintah di Malaka selama 20 tahun, dan sebelumnya 2 tahun dalam masa pelarian dan di Singapura 3 tahun. Namun Sulalatus Salatin dan Tuhfat al Nafis menyebut namanya Raja Iskandar Syah yang menunjukkan nama Islam. Prameswara baru memeluk Islam pada 1414, tak lama menjelang kemangkatannya. Semangkatnya Prameswara, menggantikan takhtanya anak beliau Raja Kecil Besar dengan gelar Sultan Mahkota. Raja Kecil Besar yang dari sumber lain bergelar Sri Maharaja, memerintah singkat sekali, yaitu 2 tahun saja. Kemudian Sri Maharaja digantikan oleh putranya bernama Raja Tengah yang bergelar Sultan Muhammad Syah, raja yang memeluk agama Islam secara gaib yaitu bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad dan ketika bangun sudah dikhitan serta dengan fasih mengucapkan syahadat yang menjadi syarat pertama memeluk agama Islam.
Islam menjadi agama resmi baru ditetapkan pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah I. Sejak itu Malaka menjadi salah satu pusat pengembangan Islam di kawasan Nusantara sebelah barat. Kedudukan Malaka semakin penting di kala itu. Tidak hanya sebagai kota pelabuhan dan perdagangan. Seiring terjalinnya kerjasama politik dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, secara alamiah terjadi penyebaran agama Islam di kerajaan-kerajaan tersebut. Agama Islam tidak hanya menyebar di sekitar Selat Malaka, tetapi sampai ke Sumatera bagian selatan, Kalimantan sebelah barat, Brunei Darussalam, dan kawasan kepulauan Sulu Mindanao, Filipina. Sultan Muhammad juga mengubah gelar-gelar pembesarnya, diantaranya, bendahara bergelar Sri Amar Diraja dan penghulu bendahari bergelar Sri Nara Diraja.
Sultan Muhammad Syah memerintah sangat adil dan memperhatikan rakyatnya. Kemaharajaan Melayu Malaka tumbuh semakin besar, para pedagang dari mancanegara semakin banyak berlabuh di Malaka, dan daerah takluk Malaka semakin luas, bahkan sampai ke Trengganu. Sultan Muhammad Syah wafat setelah memerintah selama 30 tahun.
Menggantikan takhta Sultan Muhammad Syah, yaitu putra beliau Raja Kasim bergelar Sultan Muzaffar Syah I. Di masa pemerintahannya, dibukukanlah undang-undang yang menjadi pedoman para menteri dalam melaksanakan tugas-tugasnya, datang pula utusan dari Kerajaan Siam (Thailand) meminta Malaka tunduk di bawahnya. Jelas ditolak Sultan Muazaffar Syah. Akibatnya, Kerajaan Siam menyerang Malaka, terjadilah perang dahsyat sehingga menewaskan Raja Siam. Sultan Muzaffar Syah memerintah selama 10 tahun.
Setelah kematian Sultan Muzaffar Syah I digantikan anaknya yakni Raja Abdullah bergelar Sultan Mansur Syah yang naik takhta saat berusia 17 tahun. Semasa kepemimpinannya, Kemaharajaan Melayu Malaka mencapai puncak kejayaan. Keberhasilan ini juga karena didukung perdana menterinya yang jenius dan gagah berani bernama Tun Perak. Selain menyokong pemerintahan Sultan Mansur Syah, Tun Perak kelak juga turut menjayakan kepemimpinan para sultan selanjutnnya yaitu Sultan Alauddin Riayat Syah I dan Sultan Mahmud Syah I. Tun Perak menjabat perdana menteri untuk tiga orang sultan. Sultan Mansur Syah juga mempersunting putri Majapahit bernama Raden Galuh Cendera Kirana. Dibawanyalah rombongan untuk meminang ke Majapahit. Dalam rombongan itu Hang Tuah dan para sahabatnya Wira Melayu: Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Sultan Mansur Syah juga mengajak raja-raja sahabatnya di bawah taklukan Majapahit seperti Raja Palembang, Inderagiri, Jambi, Kuala Tungkal, dan Lingga. Misi ke Majapahit tidak semata-mata melamar, tetapi juga misi politik. Di Majapahit, para raja Melayu itu bertemu dengan raja-raja besar, seperti Raja Daha, Tanjungpura dan Betara Majapahit sendiri. Setelah melamar, Sultan Mansur Syah menyuruh Tun Bijaya Sura, orang penting di kerajaan Melayu Malaka menghadap Betara Majapahit untuk meminta Kerajaan Inderagiri yang kala itu termasuk daerah jajahan Majapahit. Jawaban diplomatif Betara Majapahit sampai sekarang  dikenang orang “Jangankan Inderagiri, seluruh Jawa pun juga milik ananda Sultan Malaka karena dia sudah menantu kita”.
Dengan demikian, Kerajaan Inderagiri yang semula taklukan Majapahit beralih ke Kemaharajaan Melayu Malaka. Tidak sampai di situ, beberapa hari kemudian Sultan Mansur Syah menyuruh Hang Tuah menghadap Betara Majapahit untuk meminta Siantan yang kala itu juga daerah jajahan Majapahit. Jawaban Betara Majapahit sampai sekarang dikenang orang, “Jangankan Siantan, Palembang sekalipun akan kita anugerahkan. Inderagiri dan Siantan pun sudah menjadi wilayah Malaka. Sultan Mansur Syah mangkat setelah memerintah selama 21 tahun.
                    Sultan Mansur Syah digantikan oleh  anaknya, yakni Raja Raden yang bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah I. semasa pemerintahannya, reputasi Malaka sebagai pusat perdagangan dapat dipertahankan. Sultan Alauddin juga sangat perhatian kepada keamanan negerinya. Bahkan ia sering menangkap sendiri pencuri yang masuk ke dalam kota Malaka karena kegemarannya turun langsung meronda. Ia selalu menghukum langsung pelaku kejahatan yang mengganggu keamanan negerinya. Beliau memerintah dengan adil dan tegas lebih kurang selama 11 tahun.
                   
 Masa Keruntuhan dan Kedatangan Bangsa Eropa
Sultan Mahmud naik takhta pada 1488 menggantikan Sultan Alauddin Riayat Syah. Dan pada tahun yang sama Bartholomeus Diaz telah berada di Cape of Good Hope atau Tanjung Harapan, Afrika. Misi pelaut berkebangsaan Portugis itu mempelajari dan menjajaki rute untuk mencari negeri asal rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa.
Pada tahun 1497, armada Portugis di bawah komando Vasco da Gama tiba di Kalikut, pantai barat India. Disana mereka mendirikan kantor dagang sekaligus markas militer dan tempat tinggal di sebuah daerah bernama Goa. Semuanya dipersiapkan secara matang sebelum bergerak ke timur mencari negeri asal rempah-rempah. Tepat pada 1509 bangsa Portugis sampai di Malaka, pelabuhan tempat memperdagangkan rempah-rempah sebelum dibawa ke Eropa. Armada Portugis itu dipimpin Degolofez de Aquera.
Pada masa itu Kemaharajaan Melayu Malaka dalam kondisi bangkrut menyusul merajalelanya korupsi dan intrik persaingan di kalangan pejabat istana. Para petugas syahbandar pula menarik cukai tinggi kepada saudagar asing yang bersandar di Pelabuhan Malaka dan uangnya tidak disetor penuh ke kas Negara melainkan masuk ke kantong pribadi. Sebagai akibatnya banyak saudagar asing mengalihkan tujuan sandar dan berdagang ke pelabuhan Pasai di ujung Pulau Sumatera, pelabuhan Pattani di pinggang Tanah Semenanjung dalam wilayah Kerajaan Siam, dan pelabuhan Brunei di tengkuk Pulau Borneo serta pelabuhan Banten di pinggir Selat Sunda.
Para pejabat Malaka kala itu sedang terlena dan tidak memanfaatkan secara maksimal potensi selat Malaka yang strategis. Ketika Degolofez de Aquera bersama armadanya tiba di pelabuhan  Malaka, pelabuhan itu tidak seramai beberapa tahun sebelumnya. Kehadiran bangsa Portugis itu dapat dipukul mundur oleh pasukan Sultan Mahmud Syah. Degolofez pun kembali ke markasnya di Goa.
Sultan Mahmud Syah turun takhta pada 1511 dan digantikan anaknya Sultan Ahmad Syah. Pada tahun yang sama datang kembali armada Portugis dalam jumlah lebih besar dengan persenjataan lebih lengkap di bawah komando Alfonso de Albuquerque.
Pasukan Malaka yang dipimpin langsung oleh Sultan Ahmad Syah, mati-matian mempertahankan Pelabuhan Malaka yang hendak direbut bangsa Portugis itu. Tapi serangan bertubi-tubi meriam dari kapal armada Alfonso tak dapat diimbangi Malaka yang minim persenjataan.
Pada 25 Agustus 1511, ketika fajar mulai menyingsing, setelah bertempur mati-matian, dipagi Jum’at, Pelabuhan Malaka akhirnya jatuh ke tangan Alfonso yang kelak dijuluki sang penakluk Malaka.
Sultan Ahmad Syah dan pasukannya yang masih hidup mundur ke Pagoh bersama petinggi dan keluarga Kerajaan. Pasukan Portugis lalu menyongsong pasukan Malaka ke Pagoh. Disana pun terjadi pertempuran. Persenjataan pasukan artileri Portugis juga lebih canggih daripada bedil-bedil pasukan Melayu. Pasukan Sultan Ahmad Syah lalu mundur ke Penarikan, sebuah kota atau benteng yang lebih kecil daripada di Pagoh.
Kemudian Sultan Ahmad Syah dan pasukannya beserta petinggi dan keluarga kerajaan bertolak ke Pahang. Disana mereka disambut haru Raja Pahang, Sultan Abdul Jamil, adik ipar Sultan Mahmud Syah mantan penguasa Malaka. Dalam masa pelarian ini dilaksanakan pernikahan antara anak Sultan Pahang bernama Raja Mansyur dan anak perempuan Sultan Mahmud Syah bernama Raja Dewi. Kemudian Sultan Mahmud Syah beserta keluarga bergerak ke Pulau Bintan, sedangkan anaknya membuka negeri baru di Kopak, dalam wilayah negeri Johor.
Sementara itu Portugis yang telah menguasai Malaka terus bergiat membangun benteng pertahanan di puncak bukit tak jauh dari muara Sungai Malaka yang dikenal sebagai benteng A.Famosa. Ancaman serangan dari pasukan Melayu bisa datang sewaktu-waktu karena Portugis juga mengetahui Sultan Mahmud Syah tengah menyusun kekuatan di Bintan untuk merebut kembali Malaka. Sedangkan pelabuhan Malaka kembali ditata Portugis sesuai fungsinya semula sebagai pelabuhan dagang.
Selama berada di Bintan, selain menata pusat pemerintahan yang baru seperti membangun istana dan pemukiman, Sultan Mahmud Syah terus mengadakan konsolidasi dengan kerajaan-kerajaan Melayu yang dulu berada di bawah kemaharajaan Melayu Malaka guna menyatukan semangat dan tekad merebut kembali kota Malaka dari tangan Portugis.




Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Asal Muasal Kerajaan Malaka: Sejarah berdiri hingga keruntuhannya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel