3 Aliran Penulisan Sejarah Masa Awal Islam
A.
Aliran Yaman
Negeri Yaman terletak di bagian selatan
jazirah arab. Pada masa kebangkitan islam, penduduknya sedikit lebih
berperadaban di bandingkan penduduk Arab utara. Penduduk yaman pada masa itu
sudah mulai menulis peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Berita penting yang
diperoleh dari tulisan mereka yang di temukan di temoat peribadatan mereka
sebelum islam diantaranya adalah berita tentang runtuhnya bendungan ma’arib.
Penduduk yaman mulai mengenal kalender sejak tahun 115 SM. Riwayat-riwayat
tentang yaman di masa silam kebanyakan dalam bentuk hikayat yang berisi
cerita-cerita khayalan dan dongeng-dongeng kesukuan. oleh karena itu sejarawan
tidak menilainya sebagai sejarah.
Para penulis hikayat yang banyak dikutip oleh sejarawan muslim berikutnya adalah:1. Ka’ab al-ahbar (W. 32 H)
2. Wahb ibn munabih
3. Abid ibn syariyah
1. ‘Abdullah ibn al-Abbas, Sa’id ibn al-Musayyab, Aban ibn ‘Utsman ibn ‘Affan, Syurahbil ibn Sa’ad, dan ‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah al-Zhafari
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’ab Al-ahbar dari
suku Dzu ru’ain. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, ketika di madinah dia
bergaul dengan para sahabat nabi Saw dan meriwayatkan kepada mereka
berita-berita yang bersumber dari kitab israiliyat. Riwayat-riwayatnya tentang
hadits terdapat didalam sunan abu daud, sunan al-tirmidzi, dan sunan al-nasa’i.
Kisah-kisah para nabi banayak bersumber darinya. Dia dikenal sebagai sejarawan
yang banyak memasukan unsur mitologi dalam karyanya.
Dia banyak mempengaruhi penulisan sejarah arab dalam
banyak hal. Pertama, dia yang memperkenalkan kandungan kitab suci yahudi dan
asal mula talmud dalam sejarah islam. Kedua, dia adalah penduduk yuaman
berdarah persia. Dia juga perintis penyusunan al maghzi. Jasanya dalam lapangan
sejarah sebagai berikut:
- Meriwayatkan sejarah bangasa arab sebelum islam.
- Meriwayatkan bangsa-bangsa bukan arab yang bersumber dari kitab yahudi dan nasrani.
- Menciptakan kerangka sejarah para nabi, dari nabi Adam as sampai nabi Muhamad SAW.
- Memasukan unsur kisah kedalam lapangan sejarah.
- Laporannya tentang sejarah yaman kebanyakan bersifat mitologi.
Dia hidup di dua masa, masa pra islam dan masa
islam. Selama masa pemerintahan muawiyah abid dihormati sebagai pakar sejarah
dunia. Ibnu al-nadim telah menulis dalam kitabnya al-fihrist bahwa abid telah
menulis dua buku yaitu kitab al-amtsal dan kitab al-muluk wa akhbar. Karyanya
di transmisikan secara lisan oleh zayb ibn kayyis al-namery dan beberapa orang
lainnya. Sebagian kritikus menyatakan bahwa karyanya yang terakhir iru lebih
dekat kepada hikayat daripada sejarah.
B. Aliran Madinah
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, perkembangan sejarah di kalangan kaum muslimin sejalan
dengan perkembangan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Perkembangan ilmu-ilmu
keagmaan Islam itu sendiri bermula di kota Madinah, karena kota ini merupakan
ibukota negara Islam pertama sampai berdirinya Dinasti Muawiyyah yang menjadikan
Damaskus, Syiria, sebagai ibukota negara Islam. Di Madinah, kota Hijrah, Nabi
Muhammad SAW. menerima wahyu dan menjalankan pemerintahan dan dakwahnya hingga
Beliau wafat. Di kota suci agama Islam kedua setelah Mekah ini berkumpul para
sahabat besar, yang dipandang sebagai “gudang” ilmu pengetahuan keagamaan
Islam. Banyaknya para penuntut ilmu yang datang ke Madinah menyebabkan semakin
bertambahnya halaqah-halaqah ilmiah di Madinah. Di halaqah-halaqah itu
disampaikan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan keagamaan Islam. Setiap halaqah
ilmu di pimpin oleh seorang guru.
Ilmu
pengetahuan keagamaan Islam yang pertama kali berkembang adalah ilmu hadits,
karena melalui ilmu hadits inilah kaum muslimin pertama-tama mengetahui
hukum-hukum Islam, penafsiran Al-Qur’an, sunnah Rasulullah, dan para sahabat,
keteladananan Rasulullah, dan lain sebagainya.
Aliran sejarah yang muncul di Madinah ini
kemudian disebut dengan Aliran Madinah, yaitu aliran sejarah ilmiah yang
mendalam, yang banyak memperhatikan al-maghazi
(Perang-perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw.) dan biografi Nabi (al-Sirah al-Nabawiyah), dan berjalan di
atas pola ilmu hadits, yaitu sangat memperhatikan sanad.
Sejalan dengan riwayat perkembangannya, para
sejarawan dalam aliran ini terdiri dari para ahli hadits dan hukum Islam
(fiqh). Menurut ‘Abd al-‘Aziz al-Duri, perkembangan dan orientasi aliran
Madinah ini sangat ditentukan oleh usaha-usaha dari dua ulama dalam bidang ilmu
hukum (fikih) dan hadits, yaitu ‘Urwah ibn al-Zubayr dan muridnya al-Zuhri.
Jasa tiga tokoh pertama dalam bidang
penulisan sejarah dalam Islam, pada dasarnya, terletak pada riwayat-riwayatnya
yang masih merupakan embrio dari kajian sejarah dalam Islam. ‘Abdullah ibn
al-Abbas (w.78H) dalam lapangan ilmu keagamaan, disamping dikenal sebagai ahli
hadits, fikih dan tafsir yang sangat luas pengetahuannya, dia juga dikenal
sebagai memiliki pengetahuan tentang sejarah, ayyam al-‘arab, nasab,
syair, dan bahasa.
Sama dengan ibn ‘Abbas, Said ibn
al-Musayyab (13-94H/634-713 M) adalah juga seorang ahli fikih yang mempunyai
banyak pengetahuan tentang sejarah. Konon dia telah menulis beberapa makalah
lepas tentang kehidupan nabi Muhammad saw. dan tentang ekspansi Islam.
Sedangkan Aban ibn ‘Utsman ibn Affan (wafat antara tahun 95-105 H/713-723 M)
dinilai sebagai lambang dari pemisahan antara ilmu hadits dan kajian al-maghazi, tema pertama sejarah Islam.
Syurahbil ibn Sa’ad (w.123 H), di
samping dikenal sebagai seorang perawi hadits, juga dikenal sebagai sejarawan
muslim generasi pertama, yang banyak memiliki pengetahuan tentang al-sirah dan al-maghazi.
Sebagaimana Syurahbil ibn Sa’ad,
‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah al-Zhafari (w.120H/737M) adalah seorang tokoh
sejarah aliran Madinah yang memiliki pengetahuan luas tentang al-maghazi dan al-sirah. Riwayat-riwayatnya dalam hal itu banyak dikutip oleh
sejarah sesudahnya, seperti ibn Ishaq dan al-Waqidi. Demikian luas
pengetahuannya dalam hal tersebut, sampai-sampai ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz,
khalifah Bani Umayyah memerintahkannya untuk mendirikan majelis ilmu di Masjid
Damaskus dimana dia memberikan kuliah tentang al-maghazi dan riwayat hidup para sahabat.
‘Urwah ibn Zubayr ibn al-‘Awwam
adalah satu generasi dengan Syurahbil ibn Sa’ad dan Aban ibn ‘Utsnman ibn
‘Affan. Dibandingkan dengan sahabat segenerasinya itu, menurut ‘Abd al-‘aziz
al-Duri, perannya dalam menumbuhkan ilmu sejarah dalam Islam lebih besar.
‘Urwah menghabiskan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar. Dia
meriwayatkan hadits dan ilmu dari ilmuwan-ilmuwan besar Madinah. Dia adalah
seorang dari tujuh pakar fikih di Madinah pada masanya, dan salah seorang
paling menonjol dalam bidang hadits.
‘Urwah tidak membatasi pembahasannya
pada al-maghazi, tetapi juga mengangkat masa pemerintahan al-Khulafa’
al-Rasyidun. Dari tulisan-tulisannya, sulit untuk merekontruksi gagasannya
tentang sejarah masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, karena dia tidak menuangkan peristiwa-peristiwa
secara rinci, kecuali tentang Peran Riddah. Berkenaan dengan Perang Riddah
sendiri, ia tampaknya tetap menggunakan pola penulisan al-maghazi. Yang mungkin dilakukan adalah usaha merekonstruksi
gagasannya tentang al-maghazi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa ‘Urwah sudah memulai karya tentang al-maghazi.
Bahkan karyanya itu tidak terbatas pada persoalan-persoalan al-maghazi (perang), tetapi juga sudah
memasuki aspek-aspek al-sirah
(riwayat hidup Nabi), sejak turunnya wahyu sampai wafatnya Nabi.
‘Urwah adalah seorang perawi hadits
yang dapat dipercaya, dan dia dalam menuliskan berita-berita sejarah itu
menggunakan metode hadits. Sangat jelas bahwa penulisan sejarah bermula dan
sangat erat hubungannya dengan ilmu hadits, bahkan dapat dikatakan bahwa
sejarah merupakan cabang atau bagian dari ilmu hadits itu.dari
tulisan-tulisannya, gagasan sejarah dibalik kajian ini adalah, pemaparan
tentang keadaan, peristiwa-peristiwa penting sejarah dalam kehidupan Nabi dan
kaum muslimin pertama.
Kebangkitan aliran sejarah di
Madinah, menurut ‘Abd al-Aziz al-Duri, bagaimanapun, tidak bisa dilepaskan dari
Abu Bakr Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaydillah ibn ‘Abdillah ibn Syihab al-Zuhri,
karena dialah yang menempatkan sejarah pada landasan yang jelas dan
menggambarkan orientasi studi sejarah.
Al-Zuhri adalah salah satu seorang
tokoh besar ilmu hadits dan ilmu fiqih. Dia dikenal sebagai orang yang sangat
kuat ingatan. Yang lebi penting lagi adalah bahwa ia menuliskan riwayat-riwayat
yang diterimanya dari guru-gurunya, yang dimaksudkan untuk membantu menguatkan
ingatannya itu. Tulisan-tulisannya itulah yang menyebabkan ia dipandang lebih
tinggi dari ulama generasinya.
Dalam bidang al-maghazi, al-Zuhri tentunya terutama bersandar pada
riwayat-riwayat yang diterimanya dari guru yang lama digaulinya, ‘Urwah ibn
al-Zubayr. Informasi tentang maghazi (perang-perang Nabi) yang ditulis oleh
al-Zuhri tidak ditemukan lagi, kecuali kutipan-kutipan yang terdapat di dalam
kitab-kitab sejarah karya ibn Ishaq, al-Waqidi, al-Thabari, al-Baladzuri, dan
Ibn Sayyid al-Nas.
Al-Zuhri adalah orang pertama yang
membuat kerangka jelas bagi penulisan al-sirah (riwayat hidup Nabi); dia telah
menggariskan dengan jelas sehingga para sejarawan yang datang sesudahnya
tinggal menyempurnakan kerangka itu dengan terinci.
Pada dasarnya, pendekatan al-Zuhri
dalam penulisan sejarah ini adalah pendekatan ilmu hadits. Perhatiannya adalah
terletak pada usahanya untuk mendapatkan riwayat hadits, termasuk didalamnya
riwayat sejarah. Adapun metode yang digunakannya dalam menilai hadits dan
riwayat disandarkan pada metode isnad. Langkah penting al-Zuhri dalam
periwayatan peristiwa-peristiwa sjarah ini adalah penggunaan isnad kolektif,
yaitu dengan mengumpulkan beberapa riwayat dalam kisah yang runtut yang
dikemukakan oelh para perawi. Disamping itu, dia juga banyak menyebutkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan peristiwa sejarah.
Dalam riwayat-riwayat sejarahnya,
tampak sekali bahwa al-Zuhri berpandangan dinamis ketika membahas tentang
perang-perang Nabi. Gerakan fatalistik tidak dominan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa riwayat-riwayat al-Zuhri, umumnya, memberikan informasi faktual dengan
langgam yang jelas, sederhana, dan terfokus.
Bagian dari kajian al-Zuhri ini
menunjukkan bahwa perhatian terhadap pengalaman umat merupakan faktor lain yang
menentukan dalam pertumbuhan penulisan sejarah. Meskipun dia beberapa lama
bekerja di istana Bani Umayyah di Damaskus, pandangan-pandangan sejarahnya
tidak terpengaruh oleh perkembangan politik pada masa itu. Ia tetsp merupakan
seorang cendekiawan yang kritis.
4. Musa ibn ‘Uqbah (w.141 H/758 M)
Musa ibn ‘Uqbah adalah murid
al-Zuhri. Dia adalah seorang ulama yang menguasai banyak ilmu keagamaan Islam,
tetapi dia lebih terkenal sebagai seorang yang banyak memiliki pengetahuan
tentang al-maghazi. Sebagaimana gurunya, al-Zuhri, dia dengan ketat berpegang
pada metode isnad dan penggalan dan kronologis peristiwanya. Karyanya tidak
ditemukan lagi, tetapi beberapa bagian daripadanya dapat dijumpai dalam
karya-karya Muhammad ibn Sa’ad (al-Thabaqat) dan karya al-Thabari yang banyak
mengutip daripadanya tentang al-sirah, Khulafa’ Rasyidun, dan Bani Umayyah.
C.
Aliran Irak
Aliran yang terahir lahir adalah
aliran Irak (Kufah dan Basrah), aliran ini lebih luas daripada 2 aliran
sebelumnya, karena memperhatikan arus sejarah sebelum islam dari masa Islam
sekaligus, dan sangat memperhatikan sejarah para Khalifah, dalam karya
penulisan aliran Irak biasanya diuraikan leboh terperinci dan panjang,
sedangkan yang berhuubungan dengan kota-kota lain hanya sepintas saja.
Kelahiran aliran Irak ini tidak bisa
dipisahkan dari perkembangan budaya dan peradaban Arab dimana yang tidak
dipisahkan dari aspek-aspek politik, sosial, dan budaya islam yang tumbuh di
kota-kota dan komunitas-komunitas baru, dengan contoh seperti adat istiadat dan
tingkah laku arab yang hidup dengan berkelompok berdasarkan kabilah dan
klan,lalu endirikan pasar-pasar dan mengadakan gelar puisi dimana mereka bisa
bersuka ria, berdiskusi, dan membanggakan kabilan atau klan mereka.
Bagaimanapun karena keislaman mereka, warisan lisan di dua kota ini
diperkaya dengan peristiwa-peristiwa dan nilai-nilai baru, seperti
al-futuhat(ekspansi),fanatisme politik,dan fanatisme kebangsaan.
Langkah pertama yang sangat
menentukan perkembangan penulisan sejarah di Irak yang dilakukan bangsa Arab
adalah pembukuan trasdisi lisan, yang dilakukan oleh ‘Ubaidullah ibn Abu Rafi’,
sekertaris ‘Ali ibn Abi Thalib’. Para penutur sejarah itu yang menghkhususkan
diri dalam masalah adat istiadat, nasab, hikayat, serta syair-syair kabilah
berjasa dalam pengenalan dan penyebaran wawasan historiografi di Irak.
Para sejarawan aliran Irak ini sebagaimana sejarawan madinah yang
tidak bisa di hindarkan diri dari pengaruh ilmu hadits, yang tidak mengabaikan
peratiran isnad. Namun, aliran irak ini menerapkan peraturan isnad dengan cara
yang liberal,bahkan kadang-kadang tidak teliti, yang mengakibatkan kita
menemukan para penulis sejarah berangsur-angsur menyimpang dari periwayatan
hadits. Karena cangkupan informasi dan subyek kajiannya lebih luas daripada dua
aliran sebelumnya, aliran Irak ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan
sebenarnya penulisan sejarah sebagai ilmu, dimana paa masa ini sudah mulai
lepas diri dari ilmu hadits dan bersamaan dengan upaya meninggalkan pengaruh
pra-Islam yang mengandung banyak ketidak benaran, seperti dongeng dan cerita
hayal.
Yang tokoh penting pada aliran Irak ini adalah ‘Awanah ibn al-Hakam
(w.147 H/ 764 M). Sayf ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi (w.180 H/796 M), dan Abu
Mikhnaf (w.157 H/774 M).
D.
Pertemuan Tiga Aliran
Menurut hukum
sejarah, manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Periwayat awal sejarah
yang berasal dari kota Madinah sangat dipengaruhi oleh ideologi Islam. Di
daerah lain terpengaruh oleh prasangka kesukuan atau kecenderungan politik
lokal. Aliran Madinah cukup teliti dalam memakai prinsip-prinsip isnad
dalam setiap periwayatan. Dan isnad itu selalu diulang ketika mereka
menyampaikan suatu riwayat. Pada saat yang sama sejarawan dari aliran lain
menunjukkan konsenterasi pada teks cerita.
Aliran Madinah juga
dapat dibedakan dengan aliran lainnya, karena mempunyai kecenderungan khusus
dalam mementingkan aspek yang paling tidak berwarna keagamaan, seperti al-sirah
dan al-maghazi serta hadits. Pada saat yang sama, sejarawan aliran Irak
mengkhususkan peristiwa-peristiwa politik, nasab (genealogi), berita peperangan
dan lain-lain.
Tidak ada satu
wilayah budaya Islam yang steril dari pengaruh wilayah budaya Islam yang lain.
Dalam konteks prkembangan penulisan sejarah, perkembangan seperti itu
menyebabkan semakin mendekatnya satu aliran dengan aliran yang lain, bahkan
pada saatnya, semuanya menjadi melebur.perkembangan seperti inilah yang membuat
para pemerhati perkembangan penulisan sejarah berbeda pendapat tentang beberapa
tokoh, apakah berasal dari satu aliran tertentu ataukah berasal dari aliran
lainnya.
Perbedaan
itu muncul karena, para sejarawan melampaui batas-batas aliran di masa mereka
hidup, tetapi pada saat yang sama, masih banyak sejarawan yang terikat dengan
alirannya. Dalam kesempatan ini, kita akan meninjau tiga sejarawan masa awal
Islam yang diperselisihkan itu.
1.
Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar (w. 150 H)
Muhammad ubn Ishaq adalah juga murid
dari al-Zuhri. Dia sangat dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang al-sirah
dan, oleh Muhammad Ahmad arhini, sebagai tonggak penting aliran Madinah, karena
mencapai puncaknya pada karya Muhammad ibn Ishaq ini. Karya yang sangat
terkenal adalah al-Sirah al—Nabawiyah, yang lebih dikenal Sirah ibn
Ishaq.
Kitab al-Sirah-nya ini dapat
dibagi menjadi tiga bagian. Petama, al-mubtda’, berisi sejarah
penciptaan Adam sampai kenabian Isa as. Kedua, al-mab’ats, berisi
perjalanan kerasulan Muhammad saw. ketiga, al-maghdaz, berisi
perang-perang umat Islam di Madinah pada masa Rasulullah saw.
Oleh karena itulah, Husayn Nashshar
berpendapat bahwa, semua aliran penulisan sejarah awal masa kebangkitan Islam
ini bertemu dan melahirkan Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H/786 M). Menurutnya,
semua ciri-ciri aliran itu terdapat dalam karya Ibn Ishaq. Namun, perlu juga
diketahui pada masanya, masih banyak sejarawan yang menganut ketat batas-batas
metodologis aliran. Oleh karena itulah dia banyak mendapat kritikan tajam dari
sejarawan aliran Madinah, terutama dari kalangan ahli hadits.
2. Al-Waqidi (130-207 H/784-823 M)
Al-Waqidi adalah seorang ahli
hadits, ahli fikih, pengembara, dan sejarawan Arab terkenal. Kepustakaan
pribadinya penuh dengan buku. Dia dapat dikatakan sebagai seorang ulama yang
produktif. Dalam metode penulisannya, ia menyebutkan sumber-sumber periwayatan
secara umum saja. Oleh karena itu, ketika ia menerangkan saru peristiwa perang,
ia cukup mengatakan: qalu (mereka berkata). Peristiwa-peristiwa itu
disusunnya secara kronologis. Setiap ghazwah dan sariyyah
dijelaskan dengan menyebutkan penglima perangnya, masa terjadinya perang,
lokasi geografis terjadinya perang, dan hasil yang dicapai dalam peperangan.
Dalam metode penulisannya, ia
berusaha melepaskan corak penulisan sejarah dari corak penulisan hadits.oleh
karena itulah ia tidak begitu “taat” menggunakan metode isnad,
sebagaimana yang berlaku dalam periwayatan hadits. Ia memaparkannya dengan
metode naratif. Dilihat dari subjek kajian sejarahnya dan corak penulisannya
yang kelihatan berusaha melepaskan diri dari isnad, dia dapat diasamakan
dengan Muhammad ibn Ishaq. Walaupun oleh banyak pengkaji historiografi Islam
dimasukkan sebagai tokoh sejarawan aliran Madinah, sebenarnyavdia sudah jauh
melewati batas-batas “metedologi” aliran Madinah.
3. Muhammad ibn Sa’ad (168-230 H/784-845 M)
Sebagaimana telah disebutkan, banyak
peneliti perkembangan penulisan sejarah dalam Islam menempatkannya sebagai
salah seorang sejarawan aliran Madinah, tetapi “Abd al-Aziz Salim
menempatkannya sebagai seorang sejarawan dari aliran Irak. Muhammad ibn Sa’ad adalah
seorang ahli hadits dan sejarawan muslim yang terkenal dalam penulisan at-Thabaqat
(peringkat-peringkat para tokoh). Setelah belajar berbagai ilmu pengetahuan
keagamaan kepada banyak guru, ia kemudian secara khusus belajar pada al-Waqidi
dan bahkan menjadi asisten dan sekertarisnya.
Sebagaimana gurunya, ia juga dikenal
sebagai seorang sejarawan produktif di kemudian hari. Diantara karangannya
adalah Kitab at-Thabaqat al-Kabir (Buku Besar tentang Peringkat Para
Tokoh) dan Kitab at-Thabaqat as-Shagir (Buku Kecil tentang Peringkat
para Tokoh). Dari kedua karangan ini, yang terkenal adalah Kitab at-Thabaqat
al-Kabir (8 jilid). Ia mengemukakan bukti-bukti yang dapat dipercaya dan
mengutip dokumen asli secara menyeluruh.
Khususnya tentang biografi dan perang
Nabi saw, ia menggunakan metode yang hampir sama dengan yang digunakan Ibn
Ishaq, yaitu dengan mengumpulka sanad sanad.karena itu, alam menyebutkan suatu
peristiwa ia mengatakan di awal berita peristiwa itu: “qala” (“mereka
berkata”). Dalam menulis Thabaqat (peringkat) para sahabat, tabiin, dan
generasi sesudahnya, ia juga mengumpulkan sana-sanad di samping
menyempurnakannya dengan sanad-sanad yang berdiri sendiri. Penggunaan sanad
semakin berkurang di bagian-bagian akhir kitabnya itu, apalagi dalam biografi
singkat. Ia juga mengikuti jejak gurunya, al-Waqidi, dalam memperhatikan posisi
geografis. Metode kritikannya sudah lebih maju dari pada pendahulunya. Ia
mempertentangkan beberapa riwayat, kemudianmenentukan mana yang lebih kuat. Ibn
Sa’ad memasukkan juga penilaian terhadap tokoh yang ditulisnya, sebagaimana
dilakukan oleh para kritikus hadits. Kitab at-Thabaqat al-Kabir ini
mendapat pujian besar dari kalangan ilmuwan sejarawan dalam Islam.
0 Response to "3 Aliran Penulisan Sejarah Masa Awal Islam"
Post a Comment