-->

3 Aliran Penulisan Sejarah Masa Awal Islam



A.   Aliran Yaman

Negeri Yaman terletak di bagian selatan jazirah arab. Pada masa kebangkitan islam, penduduknya sedikit lebih berperadaban di bandingkan penduduk Arab utara. Penduduk yaman pada masa itu sudah mulai menulis peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Berita penting yang diperoleh dari tulisan mereka yang di temukan di temoat peribadatan mereka sebelum islam diantaranya adalah berita tentang runtuhnya bendungan ma’arib. Penduduk yaman mulai mengenal kalender sejak tahun 115 SM. Riwayat-riwayat tentang yaman di masa silam kebanyakan dalam bentuk hikayat yang berisi cerita-cerita khayalan dan dongeng-dongeng kesukuan. oleh karena itu sejarawan tidak menilainya sebagai sejarah.
        Para penulis hikayat yang banyak dikutip oleh sejarawan muslim berikutnya adalah:

1. Ka’ab al-ahbar (W. 32 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’ab Al-ahbar dari suku Dzu ru’ain. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, ketika di madinah dia bergaul dengan para sahabat nabi Saw dan meriwayatkan kepada mereka berita-berita yang bersumber dari kitab israiliyat. Riwayat-riwayatnya tentang hadits terdapat didalam sunan abu daud, sunan al-tirmidzi, dan sunan al-nasa’i. Kisah-kisah para nabi banayak bersumber darinya. Dia dikenal sebagai sejarawan yang banyak memasukan unsur mitologi dalam karyanya.

2. Wahb ibn munabih
Dia banyak mempengaruhi penulisan sejarah arab dalam banyak hal. Pertama, dia yang memperkenalkan kandungan kitab suci yahudi dan asal mula talmud dalam sejarah islam. Kedua, dia adalah penduduk yuaman berdarah persia. Dia juga perintis penyusunan al maghzi. Jasanya dalam lapangan sejarah sebagai berikut:
    • Meriwayatkan sejarah bangasa arab sebelum islam.
    • Meriwayatkan bangsa-bangsa bukan arab yang bersumber dari kitab yahudi dan nasrani.
    • Menciptakan kerangka sejarah para nabi, dari nabi Adam as sampai nabi Muhamad SAW.
    • Memasukan unsur kisah kedalam lapangan sejarah.
    • Laporannya tentang sejarah yaman kebanyakan bersifat mitologi.

3. Abid ibn syariyah
Dia hidup di dua masa, masa pra islam dan masa islam. Selama masa pemerintahan muawiyah abid dihormati sebagai pakar sejarah dunia. Ibnu al-nadim telah menulis dalam kitabnya al-fihrist bahwa abid telah menulis dua buku yaitu kitab al-amtsal dan kitab al-muluk wa akhbar. Karyanya di transmisikan secara lisan oleh zayb ibn kayyis al-namery dan beberapa orang lainnya. Sebagian kritikus menyatakan bahwa karyanya yang terakhir iru lebih dekat kepada hikayat daripada sejarah.

B.   Aliran Madinah
               Sebagaimana disebutkan sebelumnya, perkembangan sejarah di kalangan kaum muslimin sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Perkembangan ilmu-ilmu keagmaan Islam itu sendiri bermula di kota Madinah, karena kota ini merupakan ibukota negara Islam pertama sampai berdirinya Dinasti Muawiyyah yang menjadikan Damaskus, Syiria, sebagai ibukota negara Islam. Di Madinah, kota Hijrah, Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu dan menjalankan pemerintahan dan dakwahnya hingga Beliau wafat. Di kota suci agama Islam kedua setelah Mekah ini berkumpul para sahabat besar, yang dipandang sebagai “gudang” ilmu pengetahuan keagamaan Islam. Banyaknya para penuntut ilmu yang datang ke Madinah menyebabkan semakin bertambahnya halaqah-halaqah ilmiah di Madinah. Di halaqah-halaqah itu disampaikan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan keagamaan Islam. Setiap halaqah ilmu di pimpin oleh seorang guru.
Ilmu pengetahuan keagamaan Islam yang pertama kali berkembang adalah ilmu hadits, karena melalui ilmu hadits inilah kaum muslimin pertama-tama mengetahui hukum-hukum Islam, penafsiran Al-Qur’an, sunnah Rasulullah, dan para sahabat, keteladananan Rasulullah, dan lain sebagainya.
   Aliran sejarah yang muncul di Madinah ini kemudian disebut dengan Aliran Madinah, yaitu aliran sejarah ilmiah yang mendalam, yang banyak memperhatikan al-maghazi (Perang-perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw.) dan biografi Nabi (al-Sirah al-Nabawiyah), dan berjalan di atas pola ilmu hadits, yaitu sangat memperhatikan sanad.
   Sejalan dengan riwayat perkembangannya, para sejarawan dalam aliran ini terdiri dari para ahli hadits dan hukum Islam (fiqh). Menurut ‘Abd al-‘Aziz al-Duri, perkembangan dan orientasi aliran Madinah ini sangat ditentukan oleh usaha-usaha dari dua ulama dalam bidang ilmu hukum (fikih) dan hadits, yaitu ‘Urwah ibn al-Zubayr dan muridnya al-Zuhri.

1. ‘Abdullah ibn al-Abbas, Sa’id ibn al-Musayyab, Aban ibn ‘Utsman ibn ‘Affan, Syurahbil ibn Sa’ad, dan ‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah al-Zhafari

Jasa tiga tokoh pertama dalam bidang penulisan sejarah dalam Islam, pada dasarnya, terletak pada riwayat-riwayatnya yang masih merupakan embrio dari kajian sejarah dalam Islam. ‘Abdullah ibn al-Abbas (w.78H) dalam lapangan ilmu keagamaan, disamping dikenal sebagai ahli hadits, fikih dan tafsir yang sangat luas pengetahuannya, dia juga dikenal sebagai memiliki pengetahuan tentang sejarah, ayyam al-‘arab, nasab, syair, dan bahasa.
Sama dengan ibn ‘Abbas, Said ibn al-Musayyab (13-94H/634-713 M) adalah juga seorang ahli fikih yang mempunyai banyak pengetahuan tentang sejarah. Konon dia telah menulis beberapa makalah lepas tentang kehidupan nabi Muhammad saw. dan tentang ekspansi Islam. Sedangkan Aban ibn ‘Utsman ibn Affan (wafat antara tahun 95-105 H/713-723 M) dinilai sebagai lambang dari pemisahan antara ilmu hadits dan kajian al-maghazi, tema pertama sejarah Islam.
Syurahbil ibn Sa’ad (w.123 H), di samping dikenal sebagai seorang perawi hadits, juga dikenal sebagai sejarawan muslim generasi pertama, yang banyak memiliki pengetahuan tentang al-sirah dan al-maghazi.
Sebagaimana Syurahbil ibn Sa’ad, ‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah al-Zhafari (w.120H/737M) adalah seorang tokoh sejarah aliran Madinah yang memiliki pengetahuan luas tentang al-maghazi dan al-sirah. Riwayat-riwayatnya dalam hal itu banyak dikutip oleh sejarah sesudahnya, seperti ibn Ishaq dan al-Waqidi. Demikian luas pengetahuannya dalam hal tersebut, sampai-sampai ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz, khalifah Bani Umayyah memerintahkannya untuk mendirikan majelis ilmu di Masjid Damaskus dimana dia memberikan kuliah tentang al-maghazi dan riwayat hidup para sahabat.

2. ‘Urwah ibn Zubayr ibn al-‘Awwam
‘Urwah ibn Zubayr ibn al-‘Awwam adalah satu generasi dengan Syurahbil ibn Sa’ad dan Aban ibn ‘Utsnman ibn ‘Affan. Dibandingkan dengan sahabat segenerasinya itu, menurut ‘Abd al-‘aziz al-Duri, perannya dalam menumbuhkan ilmu sejarah dalam Islam lebih besar. ‘Urwah menghabiskan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar. Dia meriwayatkan hadits dan ilmu dari ilmuwan-ilmuwan besar Madinah. Dia adalah seorang dari tujuh pakar fikih di Madinah pada masanya, dan salah seorang paling menonjol dalam bidang hadits.
‘Urwah tidak membatasi pembahasannya pada al-maghazi, tetapi juga mengangkat masa pemerintahan al-Khulafa’ al-Rasyidun. Dari tulisan-tulisannya, sulit untuk merekontruksi gagasannya tentang sejarah masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, karena dia tidak menuangkan peristiwa-peristiwa secara rinci, kecuali tentang Peran Riddah. Berkenaan dengan Perang Riddah sendiri, ia tampaknya tetap menggunakan pola penulisan al-maghazi. Yang mungkin dilakukan adalah usaha merekonstruksi gagasannya tentang al-maghazi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ‘Urwah sudah memulai karya tentang al-maghazi. Bahkan karyanya itu tidak terbatas pada persoalan-persoalan al-maghazi (perang), tetapi juga sudah memasuki aspek-aspek al-sirah (riwayat hidup Nabi), sejak turunnya wahyu sampai wafatnya Nabi.
‘Urwah adalah seorang perawi hadits yang dapat dipercaya, dan dia dalam menuliskan berita-berita sejarah itu menggunakan metode hadits. Sangat jelas bahwa penulisan sejarah bermula dan sangat erat hubungannya dengan ilmu hadits, bahkan dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan cabang atau bagian dari ilmu hadits itu.dari tulisan-tulisannya, gagasan sejarah dibalik kajian ini adalah, pemaparan tentang keadaan, peristiwa-peristiwa penting sejarah dalam kehidupan Nabi dan kaum muslimin pertama.

3. Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn Syihab al- Zuhri (w.124 H/742 M)
Kebangkitan aliran sejarah di Madinah, menurut ‘Abd al-Aziz al-Duri, bagaimanapun, tidak bisa dilepaskan dari Abu Bakr Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaydillah ibn ‘Abdillah ibn Syihab al-Zuhri, karena dialah yang menempatkan sejarah pada landasan yang jelas dan menggambarkan orientasi studi sejarah.
Al-Zuhri adalah salah satu seorang tokoh besar ilmu hadits dan ilmu fiqih. Dia dikenal sebagai orang yang sangat kuat ingatan. Yang lebi penting lagi adalah bahwa ia menuliskan riwayat-riwayat yang diterimanya dari guru-gurunya, yang dimaksudkan untuk membantu menguatkan ingatannya itu. Tulisan-tulisannya itulah yang menyebabkan ia dipandang lebih tinggi dari ulama generasinya.
Dalam bidang al-maghazi, al-Zuhri tentunya terutama bersandar pada riwayat-riwayat yang diterimanya dari guru yang lama digaulinya, ‘Urwah ibn al-Zubayr. Informasi tentang maghazi (perang-perang Nabi) yang ditulis oleh al-Zuhri tidak ditemukan lagi, kecuali kutipan-kutipan yang terdapat di dalam kitab-kitab sejarah karya ibn Ishaq, al-Waqidi, al-Thabari, al-Baladzuri, dan Ibn Sayyid al-Nas.
Al-Zuhri adalah orang pertama yang membuat kerangka jelas bagi penulisan al-sirah (riwayat hidup Nabi); dia telah menggariskan dengan jelas sehingga para sejarawan yang datang sesudahnya tinggal menyempurnakan kerangka itu dengan terinci.
Pada dasarnya, pendekatan al-Zuhri dalam penulisan sejarah ini adalah pendekatan ilmu hadits. Perhatiannya adalah terletak pada usahanya untuk mendapatkan riwayat hadits, termasuk didalamnya riwayat sejarah. Adapun metode yang digunakannya dalam menilai hadits dan riwayat disandarkan pada metode isnad. Langkah penting al-Zuhri dalam periwayatan peristiwa-peristiwa sjarah ini adalah penggunaan isnad kolektif, yaitu dengan mengumpulkan beberapa riwayat dalam kisah yang runtut yang dikemukakan oelh para perawi. Disamping itu, dia juga banyak menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan peristiwa sejarah.
Dalam riwayat-riwayat sejarahnya, tampak sekali bahwa al-Zuhri berpandangan dinamis ketika membahas tentang perang-perang Nabi. Gerakan fatalistik tidak dominan. Sehingga dapat dikatakan bahwa riwayat-riwayat al-Zuhri, umumnya, memberikan informasi faktual dengan langgam yang jelas, sederhana, dan terfokus.
Bagian dari kajian al-Zuhri ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap pengalaman umat merupakan faktor lain yang menentukan dalam pertumbuhan penulisan sejarah. Meskipun dia beberapa lama bekerja di istana Bani Umayyah di Damaskus, pandangan-pandangan sejarahnya tidak terpengaruh oleh perkembangan politik pada masa itu. Ia tetsp merupakan seorang cendekiawan yang kritis.
4. Musa ibn ‘Uqbah (w.141 H/758 M)
Musa ibn ‘Uqbah adalah murid al-Zuhri. Dia adalah seorang ulama yang menguasai banyak ilmu keagamaan Islam, tetapi dia lebih terkenal sebagai seorang yang banyak memiliki pengetahuan tentang al-maghazi. Sebagaimana gurunya, al-Zuhri, dia dengan ketat berpegang pada metode isnad dan penggalan dan kronologis peristiwanya. Karyanya tidak ditemukan lagi, tetapi beberapa bagian daripadanya dapat dijumpai dalam karya-karya Muhammad ibn Sa’ad (al-Thabaqat) dan karya al-Thabari yang banyak mengutip daripadanya tentang al-sirah, Khulafa’ Rasyidun, dan Bani Umayyah.

C.   Aliran Irak
Aliran yang terahir lahir adalah aliran Irak (Kufah dan Basrah), aliran ini lebih luas daripada 2 aliran sebelumnya, karena memperhatikan arus sejarah sebelum islam dari masa Islam sekaligus, dan sangat memperhatikan sejarah para Khalifah, dalam karya penulisan aliran Irak biasanya diuraikan leboh terperinci dan panjang, sedangkan yang berhuubungan dengan kota-kota lain hanya sepintas saja.
Kelahiran aliran Irak ini tidak bisa dipisahkan dari perkembangan budaya dan peradaban Arab dimana yang tidak dipisahkan dari aspek-aspek politik, sosial, dan budaya islam yang tumbuh di kota-kota dan komunitas-komunitas baru, dengan contoh seperti adat istiadat dan tingkah laku arab yang hidup dengan berkelompok berdasarkan kabilah dan klan,lalu endirikan pasar-pasar dan mengadakan gelar puisi dimana mereka bisa bersuka ria, berdiskusi, dan membanggakan kabilan atau klan mereka.
Bagaimanapun karena keislaman mereka, warisan lisan di dua kota ini diperkaya dengan peristiwa-peristiwa dan nilai-nilai baru, seperti al-futuhat(ekspansi),fanatisme politik,dan fanatisme kebangsaan.
Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di Irak yang dilakukan bangsa Arab adalah pembukuan trasdisi lisan, yang dilakukan oleh ‘Ubaidullah ibn Abu Rafi’, sekertaris ‘Ali ibn Abi Thalib’. Para penutur sejarah itu yang menghkhususkan diri dalam masalah adat istiadat, nasab, hikayat, serta syair-syair kabilah berjasa dalam pengenalan dan penyebaran wawasan historiografi di Irak.
Para sejarawan aliran Irak ini sebagaimana sejarawan madinah yang tidak bisa di hindarkan diri dari pengaruh ilmu hadits, yang tidak mengabaikan peratiran isnad. Namun, aliran irak ini menerapkan peraturan isnad dengan cara yang liberal,bahkan kadang-kadang tidak teliti, yang mengakibatkan kita menemukan para penulis sejarah berangsur-angsur menyimpang dari periwayatan hadits. Karena cangkupan informasi dan subyek kajiannya lebih luas daripada dua aliran sebelumnya, aliran Irak ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan sebenarnya penulisan sejarah sebagai ilmu, dimana paa masa ini sudah mulai lepas diri dari ilmu hadits dan bersamaan dengan upaya meninggalkan pengaruh pra-Islam yang mengandung banyak ketidak benaran, seperti dongeng dan cerita hayal.
Yang tokoh penting pada aliran Irak ini adalah ‘Awanah ibn al-Hakam (w.147 H/ 764 M). Sayf ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi (w.180 H/796 M), dan Abu Mikhnaf (w.157 H/774 M).

D.   Pertemuan Tiga Aliran
Menurut hukum sejarah, manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Periwayat awal sejarah yang berasal dari kota Madinah sangat dipengaruhi oleh ideologi Islam. Di daerah lain terpengaruh oleh prasangka kesukuan atau kecenderungan politik lokal. Aliran Madinah cukup teliti dalam memakai prinsip-prinsip isnad dalam setiap periwayatan. Dan isnad itu selalu diulang ketika mereka menyampaikan suatu riwayat. Pada saat yang sama sejarawan dari aliran lain menunjukkan konsenterasi pada teks cerita.
Aliran Madinah juga dapat dibedakan dengan aliran lainnya, karena mempunyai kecenderungan khusus dalam mementingkan aspek yang paling tidak berwarna keagamaan, seperti al-sirah dan al-maghazi serta hadits. Pada saat yang sama, sejarawan aliran Irak mengkhususkan peristiwa-peristiwa politik, nasab (genealogi), berita peperangan dan lain-lain.
Tidak ada satu wilayah budaya Islam yang steril dari pengaruh wilayah budaya Islam yang lain. Dalam konteks prkembangan penulisan sejarah, perkembangan seperti itu menyebabkan semakin mendekatnya satu aliran dengan aliran yang lain, bahkan pada saatnya, semuanya menjadi melebur.perkembangan seperti inilah yang membuat para pemerhati perkembangan penulisan sejarah berbeda pendapat tentang beberapa tokoh, apakah berasal dari satu aliran tertentu ataukah berasal dari aliran lainnya.
Perbedaan itu muncul karena, para sejarawan melampaui batas-batas aliran di masa mereka hidup, tetapi pada saat yang sama, masih banyak sejarawan yang terikat dengan alirannya. Dalam kesempatan ini, kita akan meninjau tiga sejarawan masa awal Islam yang diperselisihkan itu.

1.      Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar (w. 150 H)
Muhammad ubn Ishaq adalah juga murid dari al-Zuhri. Dia sangat dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang al-sirah dan, oleh Muhammad Ahmad arhini, sebagai tonggak penting aliran Madinah, karena mencapai puncaknya pada karya Muhammad ibn Ishaq ini. Karya yang sangat terkenal adalah al-Sirah al—Nabawiyah, yang lebih dikenal Sirah ibn Ishaq.
Kitab al-Sirah-nya ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Petama, al-mubtda’, berisi sejarah penciptaan Adam sampai kenabian Isa as. Kedua, al-mab’ats, berisi perjalanan kerasulan Muhammad saw. ketiga, al-maghdaz, berisi perang-perang umat Islam di Madinah pada masa Rasulullah saw.
Oleh karena itulah, Husayn Nashshar berpendapat bahwa, semua aliran penulisan sejarah awal masa kebangkitan Islam ini bertemu dan melahirkan Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H/786 M). Menurutnya, semua ciri-ciri aliran itu terdapat dalam karya Ibn Ishaq. Namun, perlu juga diketahui pada masanya, masih banyak sejarawan yang menganut ketat batas-batas metodologis aliran. Oleh karena itulah dia banyak mendapat kritikan tajam dari sejarawan aliran Madinah, terutama dari kalangan ahli hadits.
2. Al-Waqidi (130-207 H/784-823 M)
Al-Waqidi adalah seorang ahli hadits, ahli fikih, pengembara, dan sejarawan Arab terkenal. Kepustakaan pribadinya penuh dengan buku. Dia dapat dikatakan sebagai seorang ulama yang produktif. Dalam metode penulisannya, ia menyebutkan sumber-sumber periwayatan secara umum saja. Oleh karena itu, ketika ia menerangkan saru peristiwa perang, ia cukup mengatakan: qalu (mereka berkata). Peristiwa-peristiwa itu disusunnya secara kronologis. Setiap ghazwah dan sariyyah dijelaskan dengan menyebutkan penglima perangnya, masa terjadinya perang, lokasi geografis terjadinya perang, dan hasil yang dicapai dalam peperangan.
Dalam metode penulisannya, ia berusaha melepaskan corak penulisan sejarah dari corak penulisan hadits.oleh karena itulah ia tidak begitu “taat” menggunakan metode isnad, sebagaimana yang berlaku dalam periwayatan hadits. Ia memaparkannya dengan metode naratif. Dilihat dari subjek kajian sejarahnya dan corak penulisannya yang kelihatan berusaha melepaskan diri dari isnad, dia dapat diasamakan dengan Muhammad ibn Ishaq. Walaupun oleh banyak pengkaji historiografi Islam dimasukkan sebagai tokoh sejarawan aliran Madinah, sebenarnyavdia sudah jauh melewati batas-batas “metedologi” aliran Madinah.

3. Muhammad ibn Sa’ad (168-230 H/784-845 M)

Sebagaimana telah disebutkan, banyak peneliti perkembangan penulisan sejarah dalam Islam menempatkannya sebagai salah seorang sejarawan aliran Madinah, tetapi “Abd al-Aziz Salim menempatkannya sebagai seorang sejarawan dari aliran Irak. Muhammad ibn Sa’ad adalah seorang ahli hadits dan sejarawan muslim yang terkenal dalam penulisan at-Thabaqat (peringkat-peringkat para tokoh). Setelah belajar berbagai ilmu pengetahuan keagamaan kepada banyak guru, ia kemudian secara khusus belajar pada al-Waqidi dan bahkan menjadi asisten dan sekertarisnya.
Sebagaimana gurunya, ia juga dikenal sebagai seorang sejarawan produktif di kemudian hari. Diantara karangannya adalah Kitab at-Thabaqat al-Kabir (Buku Besar tentang Peringkat Para Tokoh) dan Kitab at-Thabaqat as-Shagir (Buku Kecil tentang Peringkat para Tokoh). Dari kedua karangan ini, yang terkenal adalah Kitab at-Thabaqat al-Kabir (8 jilid). Ia mengemukakan bukti-bukti yang dapat dipercaya dan mengutip dokumen asli secara menyeluruh.
Khususnya tentang biografi dan perang Nabi saw, ia menggunakan metode yang hampir sama dengan yang digunakan Ibn Ishaq, yaitu dengan mengumpulka sanad sanad.karena itu, alam menyebutkan suatu peristiwa ia mengatakan di awal berita peristiwa itu: “qala” (“mereka berkata”). Dalam menulis Thabaqat (peringkat) para sahabat, tabiin, dan generasi sesudahnya, ia juga mengumpulkan sana-sanad di samping menyempurnakannya dengan sanad-sanad yang berdiri sendiri. Penggunaan sanad semakin berkurang di bagian-bagian akhir kitabnya itu, apalagi dalam biografi singkat. Ia juga mengikuti jejak gurunya, al-Waqidi, dalam memperhatikan posisi geografis. Metode kritikannya sudah lebih maju dari pada pendahulunya. Ia mempertentangkan beberapa riwayat, kemudianmenentukan mana yang lebih kuat. Ibn Sa’ad memasukkan juga penilaian terhadap tokoh yang ditulisnya, sebagaimana dilakukan oleh para kritikus hadits. Kitab at-Thabaqat al-Kabir ini mendapat pujian besar dari kalangan ilmuwan sejarawan dalam Islam.




Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "3 Aliran Penulisan Sejarah Masa Awal Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel